FIVE

48 12 7
                                    

Rumah bertingkat dua itu tampak begitu megah. Pas dengan polesan warna abu-abu dan putih di setiap ruangannya. Di tambah adanya halaman asri bagian depan dan belakang rumah. Benar-benar rumah impian.

"Eh abang? Kok nggak di ketuk dulu pintunya?"

Raka menoleh ke kiri. Terlihat wanita dengan tampilan khas ibu rumah tangga. Lengkap dengan beberapa apel dan tak lupa pisau di tangan kanannya.

"Sini bang. Cobain dulu apelnya," ucap Citra seraya meletakan potongan apel ke atas piring.

Raka mengangguk dan berjalan mendekati Citra. Ia meletakan tas sekolahnya di kursi meja makan.

"Gimana? Manis ga apelnya?" tanya Citra.

"Glek, manis ma," jawab Raka. Ia mengambil lagi potongan apel.

Citra tau ada yang tidak beres dengan putra semata wayangnya ini. Bagaimana tidak, wajah Raka seperti pria yang di bebani hutang piutang. Citra mencoba mengelus rambut hitam Raka.

"Abang ada masalah apa? Gak mau cerita sama mama lagi?"

"Nggak ada kok ma," jawab Raka seadanya.

"Raka," Citra menangkup wajah Raka dengan tangan kanannya, "Yang ngandung kamu siapa? Mama, kan? Yang ngelahirin? Ngawasin kamu? Mama bang. Jadi mama pasti tau gelagat kamu. Pasti ini masalah cewek, kan? Ayo kasih tau ke mama, siapa cewek yang udah bikin abang kusut gini?"

Raka menghela napas. Ia membuang muka tak berani menatap Citra. Di teguknya salivanya dan sedikit berdeham sebelum memulai pembicaraan.

"Dean, ma."

---

Hening. Tidak ada percakapan antara keduanya. Hanya ada semilir angin dan helaian daun pohon yang jatuh.

"Cafe? Maksudnya?"

"Cafe malam tadi."

"Malam tadi apa?"

Ray mulai mengerti. Rine bukanlah Dean. Lalu, bagaimana bisa kartu atm milik Dean bisa berada di tangan Ray?

"Gini aja. Lo ada pergi keluar ga malam tadi? Ke cafe deket rumah Putra?"

"Putra?" Ray mengangguk, "Gue ga tau rumah dia."

Betapa bodohnya Ray. Dean tipikal tertutup dan tak mau tau. Mana mungkin dia tau rumah Putra.

"Aduh, gue lupa lagi nama tu tempat," Ray menyentuh dan mengelus tengkuknya, "Ah, cafe Senja?"

Dean terdiam lalu mengangguk, "Kemaren sore jam lima-an."

"Berarti iya dong."

Ray sedikit tak yakin. Jika kartu itu jatuh sore hari, mengapa harus di saat  Ray yang faktanya malam hari berada di situ yang menemukannya? Apakah tidak ada yang menyadari keberadaan kartu itu?

Dean bangkit setelah memasukan kartu dan dompetnya ke dalam tas sekolah. Setelahnya, ia berlalu meninggalkan Ray yang masih duduk.

Ray sudah tau kalau Dean akan tetap dingin meskipun ia berbuat baik kepadanya. Ia tak mau ambil pusing. Ray menyandang tas dan ikut bangkit.

"Makasih."

Ray langsung menoleh ke belakang. Tampak Dean yang berhenti lalu kembali berjalan. Ray tersenyum kecil. Tanpa Ray sadari, kalau ia sudah masuk ke lingkaran permainannya sendiri.

---

"Rine, sini bentar deh," sahut Zarra, pelayan sekaligus anak pemilik cafe.

"Bentar, Ra," Rine meletakan kain pembersih itu di tempat yang sudah di sediakan, "Kenapa?"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 07, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

DOBLE PERSONALIDAD [HIATUS]Where stories live. Discover now