Si Cungkring

197K 15.5K 925
                                    

Kamu adalah kenangan, kenangan yang tanpa sadar masih terus kusemogakan.

"Papa tidak pernah memaksamu untuk mengikuti jejak papa, Zell. Kalau kamu tidak ingin, jangan jadi seperti papa," kata Jiver--papa dari seorang laki-laki bernama Zello.

"Nggak masalah, Pa. Aku suka kok, lagian seru aja, Pa."

Sang papa menghela napasnya, dia tidak bisa melarang anaknya untuk tidak mengikuti jejaknya yang merupakan aktivis kampus semasa kuliah. Anak laki-lakinya ini memang keras kepala seperti ibunya.

"Ya, ya asal kuliahmu tidak terganggu. Papa nggak masalah," kata Jiver. Matanya terfokus pada acara pertandingan sepak bola yang ditampilkan di televisi.

"Anak mama baru pulang ya, sayang?" Tanya Keyana--mamanya, ia datang dengan cookies yang tampak baru matang. Mamanya itu tersenyum hangat pada Zello. Lalu, berjalan mendekati kedua laki-laki beda generasi itu.

"Ya, Ma. Zello ada rapat tadi, lagi bahas perekerutan pengurus baru."

Keyana menggelengkan kepalanya, "jangan cerita tentang politik kampus di depan mamamu ini, cukup papamu dulu sudah bikin mama pusing. Kamu jangan deh."

Zello tertawa, ia mengambil cookies yang dibawa oleh Keyana. "Seru kali mah ikut ginian, jadi kan aku nggak kayak mahasiswa kupu-kupu, haha..."

"Dasar! Bapak sama anak sama saja!" Omel Keya, ia mengambil cookies buatannya, Keyana baru belajar membuat kue sejak dua tahun lalu. Jadi, mungkin rasanya masih sedikit tidak tepat.

"Mas, kamu nggak mau ambil? Kemanisan dikit sih karena yang bikin manis, tapi enak kok," kata Keya, ia menyodorkan kue buatannya pada Jiver.

Jiver terkekeh, ia mengambil kue buatan sang istri dan mulai memakannya. Sementara Zello sibuk menikmati tayangan televisi.

"Mantan pacarmu yang pinter bikin kue itu kuliah di mana, sayang?" Tanya Keya pada anaknya. Zello meliriknya sekilas, ia mengedikan bahunya, tanda tidak tahu.

"Ihhh kok gitu, padahal mama mau belajar bikin kue sama dia, bilangin dong suruh main ke rumah," desak mamanya.

"Aku nggak punya kontaknya, Ma. Lagian dia belum tentu mau main ke sini lagi, dia pindah ke luar kota setelah lulus."

"Loh kenapa?"
"Nggak tahu, Ma. Udah ya aku mau tidur, jangan lupa sisain kuenya buat Arsyad sama Aika, nanti mereka ngamuk kalau nggak kebagian," kata Zello sebelum ia meninggalkan ruang keluarga dan pergi ke kamarnya setelah menyebutkan dua nama adiknya.

***

Arzello Wisnu Prakarsa mahasiswa semester tiga yang mengambil jurusan Sastra Indonesia di sebuah universitas di kotanya. Tidak seperti ayahnya yang salah jurusan, Zello santai-santai saja ketika memilih jurusan dulu. Ia memang meminati Sastra Indonesia dari awal, jadi, tidak ada masalah ketika dia masuk ke dalam jurusan ini. Lebih lagi, papanya mendukung apa yang ia minati dan inginkan. Kedua orang tuanya memberinya kebebasan, tidak pernah menekannya untuk melakukan hal yang tidak ia inginkan.

Lulus nanti, dia bisa bekerja di perusahaan penerbitan milik sang papa, bakat di bidang sastra dari sang papa memang menurun padanya. Namun, meski begitu di tidak sepenuhnya mengantungkan nasibnya pada fasilitas sang papa. Zello sudah cukup mandiri sejak kecil, begitulah papa selalu mendidiknya, berbeda dengan mamanya yang kadang memang memanjakannya.

"Bro, ntar rapat di ormawa jam dua siang," teriak salah seorang temannya ketika ia hendak menemui dosen pembina akademiknya di jurusan.

"Yo, Io, nanti gue ke sana."

So I Love My ExWhere stories live. Discover now