3. What a Wonderful World

144 22 0
                                    

Kupikir setiap orang memiliki penilaian tersendiri untuk menyebut sesuatu terlihat indah dan puitis. Bagiku itu selalu berhubungan dengan hal-hal yang membuatku berhenti berlari saat menyusuri trotoar, hal-hal yang membuatku menangis dalam kesendirian, hal-hal yang membuatku tiba-tiba kepingin menulis sebuah syair dan berbaring memandang langit berbintang.

Puitis adalah suatu hari ketika aku masih TK, ketika jendela kamar nenekku terbuka lebar-lebar. Dengan tirai hijau lembut yang berayun pelan, dan sayup-sayup Louis Armstrong menyanyikan What A Wonderful World dari gramofon tua milik kakekku. Saat aku menjatuhkan diri dengan polos di lantai kayu, membaringkan boneka Barney kesayanganku, momen itu akan selalu kukenang dalam keindahan yang sempurna.

Walau Saskia menyukai pelangi melebihi apapun, bagiku keindahan dunia selalu terwakili oleh dirinya. Jemarinya yang lentik, rambutnya yang diikat kebelakang saat ia memakai topi pet, celana jins selutut dengan ujung berjerumbai yang ia kenakan saat bermain basket bersama anak laki-laki. Saskia yang mencium keningku saat aku menangis di kamarnya. Karena ia mematikan lampu, mengenakan seprai putih dan senter, lalu menakutiku dengan berpura-pura menjadi hantu limbo.

Saat itu kami masih kelas tiga SD. Aku masih berpikir kalau aku akan memiliki Saskia selama-lamanya. Aku masih berpikir kalau Saskia juga mencintaiku. Hari-hari berjalan jauh dari jangkauan rasa cemburu dan kesepian. Tidak ada Boni yang jangkung. Hanya ada aku dan Saskia di dunia yang kami bangun dengan kepolosan dan canda tawa.

Cinta PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang