7. Boy and The His Bike

124 18 2
                                    

Aku sempat tak ingin menemui Saskia. Karena setiap kali aku melihatnya, rasa sakit yang menyeruak bisa melumpuhkanku seketika. Aku selalu merasa terintimidasi karena bayanganku tentang dunianya, dunia yang dipenuhi anak-anak menawan seperti dirinya, bocah-bocah tampan seperti Boni, yang memiliki kisah tertentu dan tak melibatkan anak-anak sepertiku. Mereka adalah pusat perhatian dunia, sedangkan aku hanyalah batu kerikil yang dilupakan, yang kehadirannya tak pernah diperhitungkan dan tak pernah memiliki makna bagi siapapun.

Boleh jadi ia pusat dari hidupku, boleh jadi aku sangat mencintainya, sampai pada titik dimana aku tak pernah mengalami hal yang sama dengan orang lain. Boleh jadi aku selalu memikirkannya, setiap detik dalam hidupku yang murung dan temaram. Hanya saja dalam pandangannya aku tak berarti apa-apa. Aku tak pernah sebanding dengan hal terkecil yang ia cintai.

Kalau kau mengalami hal yang sama denganku, sebaiknya kau menarik diri dari dunia.

Fase itu berjalan dengan sangat lamban dan menyiksa. Aku lebih banyak menyelam di kolam renang umum. Menyaksikan berapa banyak gelembung yang lolos dari jangkauanku, matahari yang tampak seperti ilusi menyilaukan, dan diriku yang terdampar di dasar air yang dingin. Aku menutup gorden jendelaku sepanjang hari, jendela yang mengarah ke rumah Saskia. Tak peduli sebanyak apapun Ibu memarahiku, jendela itu tak pernah kubuka sama sekali. Ketika aku merasa bosan, aku menuntun sepedaku melalui pintu belakang, berlatih sepeda di turunan, dan setiap kali aku mencobanya, aku mendapat satu pengecualian pasti: luka-lukaku bertambah banyak.

Aku duduk di trotoar dan menyesap soda dingin, dengan plester-plester yang menempel di sekujur tubuhku, berpikir kenapa semua orang begitu mudah mengendarai sepeda. Kenapa mereka tak perlu mengalami penderitaan sehebat yang kualami. Sejauh ini aku hanya mampu mengayuh sepeda beberapa meter sebelum kembali terjatuh karena keseimbanganku menyedihkan.

Aku telah mencoba menyingkirkan pikiranku akan Saskia sebesar yang mampu kulakukan. Namun ketika aku bertanya pada diriku sendiri, aku berlatih sepeda karena dirinya. Aku rela berkali-kali terjatuh karena dirinya. Aku terbalut perban seperti mumi juga karena dirinya.

Suatu saat nanti, ketika aku sudah mahir melakukannya, aku bakal mengajak Saskia berkeliling komplek, menunjukan tempat-tempat indah yang belum pernah ia lihat seumur hidupnya.

Mungkin saat itu, dengan sedikit keberuntungan, Saskia akan mulai mencintaiku dan melupakan yang lainnya. Dengan cara itu akhirnya ia akan menyadari bahwa sejak dulu aku selalu memujanya, mencintainya dengan cara yang tulus, yang mungkin selama ini ia dambakan; hal-hal yang membutuhkan terlalu banyak kejujuran dan kesetiaan yang tak pernah ia dapatkan dari cowok-cowok keren seperti Boni.

Mungkin akhirnya ia akan kembali mendarat ke bumi, menyadari bahwa aku ada, bahwa aku selalu menunggunya di tempat pertamakali kami memulai cerita ini.

Di sekolah, aku menghindari singgungan sedikitpun dengannya. Setiap bel pulang, aku langsung berlari ke gerbang dan pulang ke rumah. Setelah sembayang ashar dan berganti pakaian, aku mulai berlatih sepeda hingga adzan maghrib berkumandang. Itu berlangsung setiap hari. Hingga aku sudah mulai menganggapnya sebagai rutinitas yang tak terpisahkan denganku. Kelak, ketika akhirnya aku berhasil, aku akan mengendarai sepedaku dan mengejutkan Saskia.

Namun setelah beminggu-minggu berkutat dengan debu dan matahari, aku tak merasa berbeda. Sepedaku masih terasa seperti kerangka besi yang tak mampu kutaklukan. Rasanya konyol kalau aku bisa mengendarainya. Seolah-olah benda itu terlalu repot untuk digunakan manusia manapun. Semangatku sudah tak seperti dulu. Aku lebih sering duduk dan memandang seisi kota ketimbang turun-naik menjajal kemampuanku.

Aku teringat suatu hari, ketika aku dilanda cemburu yang begitu hebat. Aku lari ke tempat parkir dan mengempisi kedua ban sepeda Boni. Entah kenapa tiba-tiba aku teringat hal itu. Aku berjalan meninggalkan tempat itu dan menuntun sepedaku dengan bingung. Ketika aku sampai di depan rumah Boni, tiba-tiba aku berbelok masuk ke halamannya seolah-olah sesuatu yang tak terlihat mengendalikanku.

Boni keluar tak lama setelah aku memencet bel. Ia terlihat kacau dan berantakan. Mulutnya bengkak, kakinya terbalut perban dengan noda gelap darah dipermukaannya. Aku bertanya kenapa, ia menggeleng ke sudut, ke arah sepeda motornya yang hancur berantakan.

"Ada perlu apa?"

"Aku mau minta maaf." Kataku.

"Buat apa?"

"Aku pernah mengempisi ban sepedamu di sekolah."

Ia tertawa, tapi menahannya karena kesakitan. Ia bilang kalau tak keberatan ia mau masuk lagi ke dalam, aku mengangguk dan berpamitan. Kubilang semoga ia lekas sembuh. Boni menyunggingkan senyuman untuk pertamakalinya.

Keesokan harinya aku kembali ke tempat berlatih dengan perasaan yang lebih baik dari sebelumnya.

Aku melepaskan diri dari berbagai bentuk kekhawatiran dan ketakutan. Kalau memang aku harus jatuh, maka aku akan terjatuh. Kalau memang aku harus berdarah-darah seperti Shah Rukh Khan di film Pardes, maka aku akan siap dengan kemungkinan-kemungkinan semacam itu. Karena saat itu tiba-tiba aku tersadar, bahwa ada hal-hal tertentu yang mungkin hanya bisa kita dapatkan dengan tebusan semacam itu.

Walau selama ini aku telah menceburkan diriku ke dalam luka-luka, memandikan diriku dalam pusaran peluh dan debu-debu jalanan, aku tahu itu tidak pernah cukup. Mungkin aku hanya harus ikhlas dan menikmati semua prosesnya. Mungkin aku hanya harus menganggap semuanya menyenangkan. Dan itulah yang aku lakukan.

Yah, mungkin saja ini klise. tapi percaya atau tidak, saat aku meluncur di turunan, aku merasa melayang, terbang bebas seperti burung-burung di langit dunia.

Untuk pertamakalinya, akhirnya aku berhasil mengendarai sepedaku sendiri.

Tak berhenti sampai disitu, aku membelokkan stang sepedaku dan menyusuri lika-liku gang sempit dilingkunganku. Aku mengitari halaman masjid, mengelilingi air mancur dengan ledakan emosi yang mengherankan, sampai-sampai aku kepingin teriak sekeras-kerasnya kalau saja aku tak bisa menahan diri.

Ketika aku sampai di jalan rumahku, aku tak bisa membayangkan bagaimana ekspresi Saskia saat melihatku. Namun saat aku tiba disana, aku melihat ayah dan ibuku berdiri di depan gerbang, dengan mobil Papa Saskia melaju meninggalkan kami.

Aku bertanya ada apa? Ayahku bilang sejak tadi ia mencari-cariku. Ia bilang kemana saja aku keluyuran? Saskia dan keluarganya akan mengucapkan selamat tinggal.

Satu lagi klise dalam hidupku. Ini tak boleh terjadi. Ibu bilang ini karena Boni dan pengaruh buruknya. Beberapa malam yang lalu mereka berdua hampir terbunuh karena menerobos lampu merah. Orang tua Saskia berniat menjauhkan mereka dan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bakal terjadi kalau saja mereka tetap tinggal disini.

Aku memacu sepedaku, memutar gir kendali, dan mengejar mobil itu. Sepanjang jalan aku berteriak memanggil nama Saskia. Tapi mobil itu bergerak terlalu cepat.

Ketika aku sudah tak mampu mengejarnya, Saskia muncul di jendela belakang dan menempelkan jemarinya di kaca mobil. Aku kembali meneriakkan namanya. Tapi aku tak yakin ia mendengarku, aku tak yakin ia bisa melihat air mataku berguguran.

Aku tak yakin ia memahami sedalam apa kepedihanku saat itu.

Cinta PertamaWhere stories live. Discover now