5-Zahab

31 23 9
                                    

Lalu lalang orang-orang di sekitar. Beramai-ramai menghirup udara segar. Dengan kaos dan celana training yang mereka kenakan, mereka berlari-lari kecil di tempat, meregangkan otot-otot. Pemanasan sebelum acara dimulai. Ada pula kursi-kursi yang mengelilingi meja-meja bundar, diduduki oleh ibu-ibu dengan gosip-gosip hangat yang tidak terlepas dari mereka. Juga, anak-anak gadis yang terus menunduk, fokus pada smartphone bermacam-macam merk, sesekali tertawa-tawa sendiri.

Meraup udara banyak-banyak, lalu membuangnya kembali. Zidney menerima angin segar yang perlahan menerpa wajahnya dengan senyum cemerlang.

Ia merogoh saku celana, mengeluarkan beberapa lembar kertas kecil. Beberapa lembar kupon.

Zidney menaruh harapan, salah satu dari kupon-kupon itu bisa memberinya pengganti. Pengganti benda yang saat ini ia keluarkan dari saku celananya satu lagi-sebab ia berbunyi-dan menempelkannya ke telinga.

"Iya, Bun, kenapa?"

Suara di seberang menyahut. Kontan membuat Zidney memutar bola matanya.

Yah, Zidney kira ada apa. Rupanya alarm peringatan. Dari Zauza. Zidney tidak sepikun itu jika ia melupakan coklat batangan favorit Zauza yang dipesan adiknya tadi pagi, karena tempatnya sekarang dekat dengan supermarket yang menjual coklat itu. Satu-satunya tempat.

Setelah sambungan terputus, Zidney menurunkan benda itu kembali. Menimang-nimangnya, memerhatikan lekat-lekat benda persegi panjang itu.

Handphone ini dulunya, hadiah ulang tahun Zidney yang ke-12. Waktu itu, antusiasme gadis berambut hitam legam panjang itu sangatlah besar. Tidak seperti sekarang, setelah kurang lebih tiga tahun kebersamaan mereka, Zidney malah ingin menggantinya dengan yang baru. Istilahnya, HP jadul, bukan lagi selera Zidney. Dan sayangnya, 'pengganti' yang Zidney maksudkan tidak ia dapatkan di ulang tahunnya yang ke-13, 14, maupun 15. Harapannya, di tahun ke-16. Tapi harus menunggu 5 bulan lagi. Itu terlalu lama.

Zidney benci menanti. Apalagi yang tak pasti. Belum tentu Bunda punya uang guna membelikannya smartphone canggih terbaru yang harganya di atas rata-rata.

Ah, sebenarnya gadis itu tak perlu yang mahal-mahal. Hanya saja, gaji Ayah sebagai karyawan biasa di sebuah perusahaan swasta sudah pas untuk makan, keperluan sekolah Zidney, Zauza, juga Kak Zoya di Singapore, dan biaya-biaya lainnya baik yang terdesak maupun yang direncanakan, tidak cukup untuk membeli alat komunikasi canggih itu sekali pun yang harganya paling minimal.

Dan tiga malam yang lalu, dia singgah ke rumah makan, lalu dipertemukan dengan tulisan yang membawa Zidney sampai ke tempat ini. Meski awalnya ia ragu, bagaimana caranya ke sini-sebab lumayan jauh dari rumahnya. Namun keraguan itu dengan cepat ditepis oleh Marzuki bersama sepuluh lembar kupon di genggamannya ini.

"Habis nelfon siapa?"

Alih-alih menjawab pertanyaan Marzuki yang baru saja kembali dari toilet, Zidney memasukkan kembali HP-nya ke saku celana dan menanyakan hal yang sedari tadi memenuhi pikirannya.

Dia menatap Marzuki. Serius. "Mar, kenapa lo bisa seyakin itu?" tanya Zidney, "kenapa lo bisa yakin, salah satu di antara kupon ini bakalan dituker sama I-Phone?" Zidney mengangkat kupon-kupon itu dengan kedua tangan, memosisikannya masing-masing lima, di sebelah kiri dan kanan.

Marzuki balik menatap Zidney. Tak kalah serius. "Lo belajar peluang?"

Zidney mengangguk cepat.

"Rumusnya?"

Zidney memutar bola matanya ke atas, mengerutkan kening. Sesaat kemudian ia mengarahkan pandangannya pada Marzuki yang tertawa cekikikan. Sedikit tertahan.

The One and OnlyWhere stories live. Discover now