01. Peluh

805 27 2
                                    

Hari ini, bumi terasa kian membeku.
Tibakan peluh di ujung cumulus yang membasah.
Aku, di ujung sepi menekuri inchi kenangan lalu.
Semburat merah muda tersaput dikedua pipiku.
Menyeret angan kedalam asa lalu.

Aku mencoba menatap ke dalam matamu.
Mencari binar yang lama tak kutemui di sela rindu yang menggebu.
Masihkah terang atau kelabu.
Terasa samar ataukah telah memudar termakan waktu.

Hingga sayup terdengar derap jarum jam bagai lullaby dalam panca indraku.
Menyeretku kembali dalam nyata yang semu.
Pertemuan singkat dulu hanyalah asa laluku, begitu pula asa lalumu.

Aku tak tahu sejak kapan asal abjad kita.
Aku tak tahu bagaimana cerita kita dimulai.
Kita? Ya ... kita.
Entah aku meragu atau kita yang memang tak pernah ada.

Tidakkah kau lihat sang purnama di penghujung sana?
Sinarnya yang dulu menaungimu telah memudar.
Senyum eloknya tak lagi tertatap olehku.
Tidakkah kau menyadari mengapa demikian?

Bukan karena kau tak lagi mendekapnya dalam pelukmu.
Bukan karena kau tak lagi membingkainya dalam malammu.
Kau biarkan sinarnya yang menerangimu perlahan meredup.
Bukan pula salahmu jika ia hilang tertelan sang fajar.
Mungkin jua kau kan menatap purnama di langit yang lain.

Bukankah kau berjanji akan menjadi langit yang akan selalu menaungiku.
Takkan membiarkanku hilang tertelan kegelapan malam atau termakan sinar sang fajar.
Bisakah aku kembali pada langitmu?
Jika tak ada yang menaungiku.
Aku ... masih mengharapkanmu.

-Indah-

Catatan Kebebasan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang