Langsung Aja

1.6K 30 2
                                    

Lelaki itu masih duduk di tepi ranjang. Wajahnya di tutup oleh ke dua telapak tangannya. Sesekali dia menjambak rambutnya sambil mengeleng-gelengkan kepala, Seperti seseorang yang mengutuki dirinya sendiri.

Masih terdengar lirih suaranya yang tak begitu jelas. Apakah rintihan, ceracau, atau umpatan. Tanpa sengaja aku mendengar dengan seksama apa yang akan di keluarkan dari bibirnya.

Napasnya masih terengah kembang kempis tak beraturan. Dadanya naik turun memompa udara agar cukup untuk masuk ke paru-parunya. Dia butuh banyak oksigen untuk menenangkan dirinya.

Entah apa yang di rasakannya. Ini juga baru yang pertama kali untuk ku. Dialah lelaki yang memutuskan tak melanjutkan keinginannya di awal percintaan. Kami gagal bercinta sepenuhnya. Dia memulai hanya dengan sedikit kecupan ringan. Itu pun tak lebih dari tiga kali. Itu pun hanya di kening dan di bibir. Tak lebih.

Di saat aku mulai menikmatinya. Tiba-tiba dia tersentak dan memberhentikan diri sebelum terbuai hasratnya. Seolah dia teringat sesuatu. Lalu kami saling menatap tanpa suara. Seolah kami tidak berbicara dengan kata tapi, dengan tatapan masing-masing.

Aku melihat matanya. Ada sebuah kisah yang ingin dia bagi. Tapi tertutup oleh dingin matanya yang berkaca. Sedikit ku mencoba menyelam di kedalaman matanya, tapi aku tak bisa menerjemahkan apa itu.

Tiada bahasa lain yang bisa di pakai untuk mengatakan. Terlalu sulit membahasakan sebuah perasaaan. Seperti seseorang yang sedang dirasuki cinta tanpa dia sadari.

Pada jarak tak lebih dari satu langkah. Getar-getar tubuhnya terbaca cukup jelas. Gestur seperti ini, jelas bahwa dia seorang pemula. Itu menurut pengalaman ku selama ini. Dia tak bisa memainkan suasana dengan baik. Hanya hening yang tercipta di sudut kamar.

"Kamu kenapa.?" saat aku bertanya dia masih diam. Dan hanya menjawab melalui gelengan kepalanya.

"Minumlah" ku berikan segelas air putih yang biasanya terletak di atas meja sebelah ranjang.

Dia masih diam, lalu memalingkan wajahnya ke arahku. Seolah dia bertanya. Di ambilnya gelas itu dari tangan ku dengan pasti.

"Apa ini.?"

"Tenanglah, ini hanya air putih" Aku memang sudah tahu kalo dia tidak minum minuman ber-alkohol.

"Ini sudah jam berapa. Apa kita tidak..."

"Tidak, aku pulang saja" Seolah tahu apa yang akan ku bilang.

"Pulang..." Dia langsung berdiri dari tepi ranjang dengan lesu. Lalu mengusap mukanya. Dia menghirup napas dalam-dalam.

"Tunggu..." dia sedikit kaget dengan suaraku. Ke dua matanya nampak bertanya.

"Kenapa harus buru-buru..."

"Aku tak ingin berubah pikiran lagi. Kecantikanmu memang bisa menyihirku. Tapi untuk sekarang tidak..."

"Bukankah kau datang ke sini. Tanpa keinginanku"

"Iya"

"Setidaknya temani aku malam ini"

"Tidak. Lebih baik kau pulang dan pulanglah ke rumah keluargamu"

"Aku tidak punya" Aku sengaja menekan kata "tidak punya".

Tiba-tiba tubuhku panas dingin. Kata-kata itu membuat kenangan dalam ingatku terbongkar. Padahal sudah lama aku simpan rapat-rapat tentang keluargaku. Semua ini aku simpan, sejak aku melakukan pekerjaan ini.

Menjadi kupu-kupu malam yang cantik. Terbang di tiap bibir malam yang mulai beranjak. Hinggap dari ranting satu ke ranting lainnya. Semua ini karna sebuah alasan yang tak jauh beda.

Karna terlilit utang. Aku lantas pergi merantau ke kota. Dan sampai di sana, aku di jual ke mucikari.

Mungkin kau kira tidak ada wanita yang ingin seperti ini. Itu semua karna nasib yang membawa mereka. Tahukah alasan klise mana yang menjadikanku sampai bertemu lelaki ini? Pasti kau bisa menyimpulkannya.

Uang. Ya karna uang. Karna uang, aku sampai terdampar di sini. Alasan yang biasa kalian dengar bukan...

Aku menjual diri untuk mendapatkan uang. Uang itu untuk makan bapak dan mamaku di kampung. Uang untuk sekolah adik-adikku. Sehingga aku berpamitan dengan mereka 3 tahun yang lalu bersama temanku ayu. Dia lah yang tega menukarku dengan uang. Waktu itu aku menangis meraung-raung dan tidak mau makan berhari-hari.

Sudah cukup.!!!

Sudah cukup. Aku tidak ingin mengingatnya lagi. Cukup aku kirim uang untuk kebutuhan keluargaku di kampung. Walaupun terkadang rasa rindu menyelimuti hatiku.

Tapi biarlahku simpan rasa rinduku kepada mereka. Yang perlu mereka tahu, anaknya sudah bisa menghasilkan uang yang banyak dan mengirimnya ke kampung.

***

Lelaki itu kini mendekat. Menatap mataku dengan tenang. Mata menyiratkan keteduhan. Garis senyumnya di bibirnya merekah. Entah apa yang akan di lakukannya. Apa mungkin saja hasratnya kembali.

Baru kali ini ada laki-laki yang seperti ini. Ada sesuatu yang menyusup pelan. Seperti ada kehangatan yang menjalar di dada.

Kini tangannya melingkar di pinggang ku. Rasanya sama seperti tadi. Hangat. Di letakkannya keningnya di keningku. Lama tatapan kami bertemu. Hingga akhirnya kami saling menciptakan bahasa dari tatapan. Saling menciptakan energi. Yang entah energi apa itu. Kemudian kami saling melekatkan kehangatan. Pelukan... Kecupan...

"Siapa namamu?" Aku masih diam dan pandang kami tetap bertemu. Kemudian matanya turun ke leher ku. Aku memang memakai kalung yang melambangkan huruf namaku.

"I..." Aku menggangguk

"Semoga kita bertemu di Kemudian hari. Jaga diri baik-baik" Kemudian dia mencium keningku, bibirku.

Aku sebenarnya berharap lebih dari itu. Namun, hanya itu yang kudapat darinya. Tapi ada perasaan lain yang kurasa. Ya itu perasaan kehilangan.

Karna perasaaan itu. Aku mengingat pesannya, untuk menjaga diri baik-baik dan menunggumu. Gumaman itu hampir menyiratkan dengan sebuah doa. Doa yang sangat tulus kurasa.

***

Ini adalah hari minggu. Hari yang sangat aku nantikan. Terlebih hari minggu pagi, ditemani secangkir kopi hitam di tambah sepiring roti.

Aku masih tidak percaya membaca cerpen di koran itu. Kisahnya sungguh nyata.

Begitu banyak cerita yang belum aku tulis. Itu lah kelemahanku. Aku tidak bisa menulis ribuan detai cerita secara representatif. Terutama bagaimana aku jatuh cinta pada istriku.

Aku masih senyum-senyum membacanya. Tanpa kusadari, istriku juga tersenyum melihat dari belakang. Dia kemudian melingkarkan tangannya di leherku. Kemudian pipi kami saling menempel.

"Kenapa kau tak pernah bilang, kalau cerita kita kau publis"

"Kau tidak setuju"

"Bukan... Hanya saja... "

Cup... Cup

Aku mencium pipinya. Dia tersenyum. Walaupun aku tahu, dia tersenyum terpaksa. Lantaran cerita kami, di publis. Bahkan dengan ini aku bisa melepaskan bebanku.

Beban bahwa aku telah jatuh cinta pada kupu-kupu malam dan menikahinya. Tapi sekarang dia tidak lagi kupu-kupu malam. Dia Mantan kupu-kupu malam. Dan dia wanita yang membuatku benar-benar jatuh cinta...

****

Gimana menurut kalian semua...
Beri sarannya dan votenya y...

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 10, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Lelaki terakhirWhere stories live. Discover now