Dua Puluh Dua: Mengalah

2.2K 319 5
                                    

Usahakan vote dulu baru baca! :)

CAUTION: TYPO BERTEBARAN

I hope you like it :)

----------

"Selamat dat-"

Aksa yang sedang melap meja-meja di restoran menoleh ke arah pintu saat denting belnya berbunyi. Pemuda itu terdiam, melihat ayahnya berdiri dengan gaya kaku khasnya. Tidak ada raut khawatir ataupun lega di wajahnya, wajah kaku. Tapi ia bisa melihat lingkaran hitam di bawah mata Wahyu dan kerutan di dahinya yang semakin terlihat jelas.

"Saya pesan,nasi goreng kambing. Sama kopi panas satu."Ucap Wahyu lalu, sembari menarik kursi di dekatnya. Beberapa pengunjung yang mendengar ucapannya sontak mengernyitkan dahi. Nasi goreng kambing dan kopi panas? Rasanya itu tak cocok untuk menu sarapan seperti ini.

"Ada lagi Pak?"Tanya Aksa lagi, mulai merasa tak nyaman akan atmosfer mengintimidasi yang menguar dari Wahyu. "Atau mau ganti pesanan saja?"

"Tidak." Wahyu menatap putra sulungnya itu dingin. "Bawakan saja itu."

Pria separuh baya itu baru mengganti tatapannya menjadi hangat saat Aksa sudah masuk ke area dapur. Ia menekan jemarinya yang tanpa sadar bergetar dan genangan air mata yang ia tahan sedari tadi. Dia lega, setidaknya anaknya tak berkeliaran seperti pikirannya.

Terkadang seorang anak tak pernah tau, kasih sayang dan kekhawatiran seorang Ayah bisa lebih besar dari sang Ibu. Tapi tetap saja, ayah adalah seorang laki-laki. Yang lebih mengutamakan egonya dibanding perasaannya.

******

"LO GILA?!"

Nuga membanting sendoknya hingga menimbulkan bunyi berdentang, Paras sendiri hanya diam sembari mencuci piring sedikit mengabaikan pertengkaran kakak beradik itu. Nuga menatap bubur ayamnya yang sudah bertebaran karena bantingannya.

"Aksa udah ketemu, dan sekarang apalagi? Kenapa lo nolak beasiswa itu?"Nuga mengacak rambutnya, tak paham akan jalan pikiran adiknya itu. "Lo sayang jangan bego-bego ngapa!!"

"Nuga..."Paras memperingatkan, membuat mahasiswa yang baru saja menyelesaikan skripsinya itu berdecak. "Bun, masa Bunda setuju sama keputusan dia."

"Bang."Fiona bangkit dari kursinya. "Gue nolak bukan karena itu, 2 tahun di Indonesia dan dapat tawaran kerja di brand terkenal. Itu menguntungkan Bang."

"Lo mau kerja jadi pegawai gitu?" Nuga tersenyum miring. "Buat apa lo sekolah mode, kalau bukan buka brand lo sendiri? Kuliah di Paris lebih besar peluangnya buat lo."Imbuhnya menghela nafas menahan kekesalan.

"1 minggu, pikirin baik-baik. Lupakan soal Aksa dan yang lainnya. Fokus pada mimpi lo. Gue mohon."

*****

"Makan itu sekarang."

Aksa yang sudah terburu-buru untuk pergi, menatap aneh ayahnya yang hanya mengambil secangkir kopinya. Tak menatap sama sekali pada sepiring nasi goreng kambing yang di pesannya. "Ayah tau, aku tidak suka daging kambing."

Wahyu menghela nafas, dan melepas kacamatanya. "Kalau begitu duduk sekarang, karena ayah butuh bicara sama kamu." Melihat Aksa yang masih tak mau duduk dihadapannya, ia menghela nafas.

"Baiklah." Wahyu menghela nafas. "Ayah ngalah, masuklah ke politik dan kembalilah ke rumah."

"Secepat itu?" Aksa tersenyum miring tak percaya. "Baru tau di dalam kamus ayah ada kata 'mengalah'" Lanjutnya menyindir.

Wahyu tak terkejut, ia seolah berhadapan kembali dengan dirinya belasan tahun yang lalu. Pemberontak hanya demi masuk kedokteran yang dilarang habis-habisan oleh ayahnya waktu itu. Mungkin itulah yang disebut 'buah jatuh tak jauh dari pohonnya'.

Titik Koma [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang