Part 9

26 9 0
                                    

Monday, Juny 16th
Hari menjelang berakhirnya musim semi. Seperti yang kalian tahu, musim semi itu hal yang paling ditunggu-tunggu hampir setiap orang terutama anak remaja. Tapi hari ini tidak terjadi pada Terre. Selesai makan malam dengan orangtuanya, ia belajar sebentar. Sebentar saja. Mungkin sekitar 5 menit bahkan kurang. Kenapa? Ia sudah terlalu pintar untuk anak seusianya. Ia tak disebut pintar tetapi genius.
"Membosankan~~~~ hoam. Ngantuk ah. Gabut nih."
Diraihnya ponselnya dan membuka chat dari beberapa temannya. Semakin ia memandangi layarnya semakin tambah kegabutannya.

Iphone keluaran terbaru itu dilemparkan ke kasur lumayan keras

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Iphone keluaran terbaru itu dilemparkan ke kasur lumayan keras. Sedikit benturan kecil mengenai ujung iphone-nya dan retak. Gadis bermata ungu itu memandangi iphone-nya dengan tatapan malas.
"Heran deh kenapa banyak orang rela ngabisin duit buat beli nih hp. Bosenin juga. Terkadang aneh liat orang-orang gabisa lepas dari nih Benda 6 inchi. Nyesel juga aku belinya."
Ia menjatuhkan tubuhnya diatas kasur dan bagian kaki bawah menyentuh lantai. Mata ungunya menatap lamat-lamat jam dinding. 9:15 pm.
Ia terbayang tentang Selly. "Dimana anak itu?"
Kenapa setiap kali Selly berada diantara orangtuanya, tiba-tiba orangtuanya melupakan dia seolah-olah dia tak pernah ada di dunia ini. Dan sekarang, saat cewek itu tidak berada di antara mereka, semua kembali seperti dulu. Kasih sayang serta kelembutan yang dulu hilang, kembali padanya seperti masa kecilnya dulu. Anehnya lagi, kenapa anak itu tidak memberitahu alamat dan tujuan dia pergi kemana. Tidak mungkin orangtua membiarkan anak perempuannya menginap di rumah temannya yang tidak jelas. Tapi hal ini tidak terjadi pada orangtuanya. Biasanya mereka selalu memperhatikan anak itu, sekarang malah mereka memperhatikan Terre dari ujung rambut sampai ujung kaki. Bahkan dia menghabiskan waktu 2 jam bercanda tawa dengan orangtuanya. Pasti ada sesuatu yang salah disini. Ia hanya tak mengetahuinya.
"Tapi bagaimana caranya aku tahu dan membuktikan bahwa dugaanku itu benar?"

5 menit lengang.
Di cermin kamarnya, muncul seorang berjubah putih yang tak lain adalah Raymond. Terre ketakutan sampai keringat dingin. Ia meraih pemukul kasti yang selalu ready di sisi ranjangnya.
"Kenapa kau kesini b*****t!" teriaknya melawan rasa takut.
"Hmm memang beginilah kebanyakan tabiat anak genius. Omonganmu tidak bisa di filter." ucapnya datar.
Terakhir kali Terre bertemu Raymond di dunia lain, ia tampak tak mengerikan. Tapi sekarang, Raymond berada di dalam cerminnya dengan aura yang sulit dijelaskan.
"Aku tidak peduli. Apa maumu?!" nada suaranya masih melengking.
"Tenang, gadis muda. Aku tidak akan melukai apalagi membunuhmu." ucapnya datar.
Terre hanya diam. Ia mencampakkan pemukul kastinya. Ia berpikir untuk apa dia takut? Kalau pun si jubah putih ingin membunuhnya, ia siap sekarang.
"Dan sekarang, kenapa kau membuang pemukul sialan itu?" tanyanya tanpa ekspresi.
"Bukan urusanmu, makhluk aneh." ia melipat tangannya di depan dada dengan ekspresi acuh.
Si jubah putih hanya diam.
Melihat kediaman yang tidak mengenakkan ini, Terre memulai pembicaraan.
"Raymond," katanya gugup. Ia menggosok tengkuknya dan menatap Raymond dibalik jubah putihnya. ".......kenapa mom gak bisa lihat laki-laki bermata merah itu?"
Raymond bernapas di dalam cermin hingga menyisakan embun di balik cermin itu.
"Jace maksudmu?" tanyanya. Kali ini nada bicaranya sedikit lembut.
"Iya. Si brengsek bermata merah." tuturnya. Ada sedikit penekanan pada kata 'brengsek'.
"Kau genius, tapi cuek dan omonganmu tidak difilter."
Makhluk berjubah putih itu melangkah anggun keluar dari cermin. Wajahnya masih diselimuti hoodie sehingga yang terlihat hanya bayangan hitam. Jika dikatakan ia adalah hantu, itu tidak mungkin karena kakinya menapak lantai. Terre terkejut setengah mati. Terakhir kali ia bertemu Raymond saat di hampir mati di rumah sakit, tapi sekarang Raymond berada di kamar gadis itu. Ketukan sepatunya mendengung tajam di telinga. Pelan-pelan ia melangkah mendekati Terre yang sedang ketakutan dipinggir tempat tidurnya. Raymond semakin dekat. Bahkan sekarang Terre dapat merasakan deru napas Raymond dari jarak 60cm darinya.
"Apa yang kau lakukan? Kenapa kau bisa...." kata-katanya terputus. Raymond mencium bibirnya. Mata Terre mendelik. Ia tak menyangka Raymond menciumnya. Bibir Raymond berada di atas bibirnya sekarang bahkan melumatnya. Desah napas mereka beradu dan tersendat-sendat.
Beberapa menit kemudian, ciuman mereka berhenti. Bibir mereka basah dan merah.
Tiba-tiba Terre teringat jika ia melihat Raymond, maka ia akan mati. Kebetulan ia ingin mati semenjak Vania hilang. Tapi caranya untuk bunuh diri selalu gagal.
Dengan cepat dan spontan ia membuka hoodie Raymond dan ia terbelalak.
Oh Tuhan, ia sangat tampan.
Mata Terre melotot menatap Raymond dari atas sampai bawah.
"Apa yang kau lakukan gadis brengsek!" ucapnya berapi-api.
"Cih. Kau meniru ucapanku, bodoh. Sama saja kau pun gak bisa memfilter omonganmu." ucapnya datar sambil mengedipkan mata.
Raymond menatapnya datar. "Terserah apa katamu."
"Kita impas." ucap gadis itu sombong dan melipat kedua tangannya di depan dada.
Mata Terre tak bisa lepas memandangi wajah Raymond.
Matanya biru dan pupilnya berwarna ungu. Mata terindah yang pernah kulihat, ujarnya. Matanya besar dengan bulu mata yang panjang. Alisnya hitam tebal alami menambah keseksian wajahnya. Rambutnya hitam legam dan ada sedikit warna ungu di bagian atas akar rambutnya.
"Kenapa memandangiku?" ucapnya sedikit kasar.
"Hmmm kau tampan." jawab Terre sekenanya tapi masih menatap wajah pria itu.
"Terima kasih nona Terre."
Pria itu berjalan menjauhi Terre menuju ke balkon kamar.
Hening sejenak di ruangan itu.
"By the way, tadi itu ciuman pertamaku." ucapnya seraya memegang bibir bawahnya dengan kepala menunduk menatap lantai.
Pria itu tidak menghiraukannya sejenak kemudian balas bertanya, "Bagaimana rasanya?" tanyanya dengan nada menggoda.
Wajah Terre spontan memerah.
Raymond tertawa. "Hahahahhaha, ternyata cewek barbar sepertimu bisa malu juga." lalu ia menyambung, "Tidak usah dipikirkan. Aku juga menikmati ciuman itu."
Wajah gadis itu semakin merah tapi ia berusaha menepisnya dengan melihat pria itu dari jauh yang memunggunginya. Ia berjalan dengan
Langkah kaki yang sangat anggun. Mungkin laki-laki sepertinya hanya ada 1 atau 2 di dunia ini. Kemudian secara disengaja, ia membuka jubah putihnya dan memperlihatkan tubuhnya yang super sexy. Badan atletis. Tapi di dada atasnya, ada dua tanda yang bersebrangan berwarna biru berpola lengkungan seperti alis mata sulaman yang diidamkan kebanyakan wanita. Awalnya tanda seperti tato itu berwarna biru pudar kemudian tubuhnya ditiup angin kencang lalu pola biru itu bercahaya. Cahayanya indah sekali. Seperti berlian atau kristal yang terkena cahaya. Sangat indah.

Lama-kelamaan cahaya itu semakin terang dan menyilaukan mata. Pria itu menghampiri Terre. Terre tak berkedip sama sekali. Bahkan tak sedikitpun berpindah tempat. Ia masih di pinggir tempat tidur.
Sekarang wajah lelaki itu persis dihadapannya.
"Kau bilang kau bukan manusia. Jika aku melihat wajahmu, maka aku bisa mati" ucap Terre dingin.
Dia tersenyum nakal dan mengedikkan bahu. "Memang aku adalah manusia. Tapi bukan manusia seperti di bumi. Kau tidak mati karena kau sama sepertiku, bukan manusia dari bumi ini. Hanya manusia di bumi yang bisa mati saat melihatku."
Terre bingung lalu berkata, "Apa maksudmu?" ia mengangkat sebelah alisnya.
Raymond semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Terre hingga gadis itu bisa merasakan hangatnya napas pria itu.

Tiba-tiba mama Terre masuk ke kamar anak gadisnya yang sedang beradu pandang dalam jarak 10 cm dengan seorang pria bernama Raymond.

__••__

Necklace of the HellWhere stories live. Discover now