Chapter 1

162 17 10
                                    

Angin berembus sepoi sore ini. Ada sepasang kaki manusia yang masih tertutup sneakers menggantung di sebuah rooftop. Pandangannya ke depan, tapi tidak dengan pikirannya. Entahlah. Ia tak tahu pasti kemana pikirannya melayang saat ini.

Dia hanya merasakan rasa nyaman dan sesak di saat yang bersamaan. Ingin rasanya membuat matanya meneteskan beberapa bulir air. Hanya sekedar meringankan beban hatinya. Tapi itu hanya keinginan bukan? Karena nyatanya matanya nyaris kering saat ini.

Rambut panjangnya yang tergerai, perlahan mulai tertiup angin. Tangan kecilnya masih terus membantu menopang tubuh mungilnya yang sedang terduduk di ujung rooftop. Sebentar-sebentar ia hanya mendesah pelan, berharap desah napas yang keluar dari mulutnya ikut membawa keluar masalah yang sedang berputar di otaknya.

Ia juga tak tahu sudah berapa lama tubuhnya terpatri di sini. Entahlah. Dia tak mau memikirkan itu. Banyak hal yang harus ia pikirkan dan itu jauh lebih penting dari segalanya. Sejak awal dia berada di sini, matanya sudah terasa panas. Ia pikir bisa menangis, meluapkan emosinya disini. Tapi ternyata salah. Panas matanya tak bisa memancing setetes air mata pun jatuh dari pelupuk nya.

"Kenapa begini banget sih? Stress juga gue lama-lama," ujarnya pelan pada dirinya sendiri. Rasanya hidupnya begitu sulit dan begitu rumit. Selalu ada masalah yang di luar kendali nya. Selalu. Ingin rasanya ia menarik lepas rambutnya. Tapi sayangnya ia masih ingat sakitnya ketika hal itu ia lakukan beberapa hari yang lalu.

"Hey. What you doing here?" tanya seorang lelaki yang tanpa ia sadari sudah duduk di sampingnya. Manik mata hazel yang terasa begitu hangat dan lembut menatapnya dalam. "Hmm. Nothing," jawabnya singkat sambil memalingkan wajahnya dari tatapan hangat itu. Matanya kembali menatap lurus ke arah awan-awan yang warnanya sudah mulai memiliki semburat senja.

"Hell, no. Aku kenal kamu. Dan kamu ga mungkin bisa di sini kalo ga ada masalah sama sekali," ucap lelaki itu lembut. Ya, dia benar. Sangat benar. Tapi masalahnya begitu banyak sampai membuatnya bingung harus menceritakan yang mana.

"Masalahnya kebanyakan," jawab perempuan itu sambil menatap lawan bicara nya sejenak. Terdengar tawa kecil dari bibir mungilnya seolah sedang menertawakan dirinya sendiri. "Okay. Choose one. Cerita salah satu nya yang paling bikin kamu terbebani," balas lelaki itu sambil terus menatap tubuh perempuan disampingnya dengan begitu intens.

Mungkin usahanya kali ini berhasil. Matanya bisa menangkap sebuah anggukan kecil. Terdengar desah pelan yang entah kenapa terasa begitu berat terdengar. Seolah mengisyaratkan apa yang akan ia katakan adalah hal yang begitu berat. Masih dalam diam. Perempuan itu menatap ke bawah, melihat keramaian yang terlihat layaknya semut. Kaki nya ia goyang maju mundur bergantian.

"Aku masih 19 tahun kan?" tanya perempuan itu sambil menyelipkan sebuah tawa kecil yang sangat ia paksakan. Hanya mendengar tawa nya saja, seolah membuat semua orang tahu bahwa perempuan ini sedang meremehkan diri dan hidupnya sendiri.

Lelaki itu memilih diam. Ia ingin membiarkan perempuan di sampingnya ini menceritakan semuanya. "Emang kelakuan aku keterlaluan ya?" tanya perempuan itu lagi yang sekarang sudah menatap manik mata lawan bicaranya. Lelaki itu menatap dalam diam.

"Maksud kamu?" tanya lelaki itu meminta penjelasan. Jujur, menurutnya pertanyaan tadi begitu ambigu. Bagian mana dari hidupnya yang ia tanyakan. "Evan. Apa aku cewek nakal?" tanya perempuan itu sambil terus menatap manik mata lawannya semakin dalam.

Lelaki yang dipanggil Evan itu mengerjapkan matanya beberapa kali. Otaknya bekerja keras mencerna semua ucapan perempuan di depannya. Mencoba mencari tahu kemana arah pembicaraan ini. "Ya, mungkin aku emang nakal," ucap perempuan itu menjawab pertanyaannya sendiri saat menapati Evan masih terus terdiam.

The Way I Found YouWhere stories live. Discover now