Melepas Mimpi

28K 2K 61
                                    

"Ning, Ibu belum bisa biayain kamu kuliah," kata Ibu dengan suaranya yang serak, terlihat Ibu menahan rasa sedih karena tahu perkataannya akan membuatku kecewa.

"Terus, Ning harus bagaimana, Bu?" Ingin rasanya aku menangis, tapi aku sudah tahu ini akan terjadi.

"Paman sedang mencarikan pekerjaan untuk kamu," lanjut Ibu sambil menolehkan kepalanya ke arah jendela, menghindari tatapan sedih di mataku.

Aku tidak bisa berkata-kata, itu hanya akan membuat Ibu dan aku bertambah sedih. Kutinggalkan ruang tamu, kubiarkan Ibu duduk sendiri memandang hujan yang turun deras di sore hari. Hujan yang mewakili air mataku dan Ibu.

*

Aku masih ingat hari itu, enam bulan yang lalu. Aku tidak bisa beranjak dari teras depan sekolah karena hujan turun tanpa henti dan suara gemuruh petir yang saling menyambar. Cuaca kota Bogor di musim hujan sangat tidak bersahabat, sepertinya alam ingin menyampaikan kabar buruk padaku. Ketika akhirnya hujan reda, aku segera berlari pulang mengejar angkot di tengah gerimis.

Turun dari angkot, kulihat bendera kuning terpasang di tiang listrik yang ada di depan gang rumahku.

'Siapa gerangan yang Engkau panggil di hari Jumat ini?' ucapku dalam hati, sambil terus berjalan menembus sore hari yang makin gelap.

Beberapa orang tetangga tergesa-gesa mendahului langkahku dari belakang, mereka membawa keranda jenazah. Kulihat keranda jenazah itu dibawa masuk ke dalam pekarangan rumahku, di sana sudah banyak orang berkumpul.

Kuhentikan langkah sesaat, pikiranku penuh dengan tanda tanya, rasa gelisah semakin berkecamuk dalam dada. Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku.

"Neng Kemuning ke mana aja? Tadi Ibu coba telepon, tapi gak nyambung terus," kata Bu Hadi tetangga di samping rumahku. Ekspresi mukanya menunjukkan rasa sedih dan khawatir, membuat perasaanku semakin tidak enak. "Bapakmu, Ning
... Bapak ...."

Sebelum Bu Hadi menyelesaikan kata-katanya, aku sudah berlari menuju rumah. Kuterobos orang-orang yang berkerumun di depan rumah. Aku melihat Ibu dengan wajah yang digelayuti mendung sedang duduk di samping jenazah Ayah.

"Ayaaah!" Aku berlari memeluk jenazah Ayah. Kugoncangkan tubuh besarnya yang sudah kaku dan terasa dingin, berharap ia akan membuka matanya dan terbangun. Aku berharap ini hanya sebuah mimpi buruk yang akan segera berakhir.

Ibu dan Pamanku berusaha menarik dan melerai pelukanku. Ibu mendekapku erat, lalu berbisik, "Jaga adik-adikmu."

Spontan aku melihat kedua adikku yang duduk di sudut ruangan. Kasih, adikku yang masih SMP terlihat mematung sambil menangis. Sementara, si bungsu Kirana yang masih TK hanya melihat setiap orang dengan penuh kebingungan. Kuhampiri dan kupeluk erat mereka, mencoba tegar walau sulit menahan air mata.

Jenazah Ayah dikuburkan malam hari, setelah waktu isya. Aku tidak sanggup melepas kepergiannya, beberapa kali aku tidak sadarkan diri. Lain halnya dengan ibu, ia terlihat tegar setegar batu karang, hanya sesekali kulihat ia menyeka air matanya dengan sapu tangan.

Malam harinya, setelah jenazah Ayah dikuburkan, suasana rumah terasa begitu sunyi. Satu per satu tamu yang melayat mulai meninggalkan rumah. Tinggallah aku dan Ibu duduk bersebelahan di ruang tamu. Beberapa saudara masih membantu membersihkan rumah, sementara adik-adikku sudah tertidur lelap.

"Ayahmu meninggal saat sedang salat Jumat di masjid. Mungkin ia terkena serangan jantung," ujar Ibu menjelaskan dengan wajah yang terlihat pucat.

Ibu paling tahu bahwa aku adalah anak Ayah. Ayah tempatku berbagi cerita dan bermanja-manja. Ibu mengusap punggungku, mencoba memberi separuh ketegarannya padaku. Kupeluk erat tubuh Ibu, walaupun ia terlihat tegar, aku tahu separuh jiwanya telah pergi. Kami berdua merasa sangat kehilangan.

Maid in Buitenzorg (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang