Siapakah dia?

132 5 0
                                    


"Jangan jadi kebiasaan habis sholat subuh tidur lagi. Kamu itu perempuan. Nanti gak ada laki-laki yang mau melamarmu. Lihat saja laki-laki zaman sekarang lebih milih nikahin nenek-nenek, kan? Karena banyak gadis pe-ma-las,"

Lengkap dan ekstra. Pagi ini aku sarapan nasi goreng dan nasihat dari ayah.

"Lusa Ayah ke Bandung untuk...,"

"Liburan? Jenguk yangti sama yangkung? Ahh, tapi aku lagi banyak-banyaknya tugas, Yah," tukasku menyambar kalimat ayah.

"Siapa yang mau liburan? Ayah dapat proyek di sana. Nanti kalau UASmu selesai, baru deh kita liburan ke sana. Sekalian...,"

Tak peduli kalimat apa selanjutnya. Jantungku berdegub tak sabar menanti libur. Tapi aku harus berperang terlebih dahulu. Tentunya dengan UAS-ku.

"Bu, nanti aku mau keluar ya sama teman-temanku,"

"Nongkrong lagi? Teman-temanmu yang mana?"

"Ya siapa lagi kalau bukan Zalfa, Ica dan Fanya. Sekalian mau nugas bareng. Boleh ya,Bu?"

"Pasti di caffe, kan? Ngerjain tugas kok di sana? Perpustakaan kan ada,"

"Perpustakaan itu ngebosenin. Mending di caffe suasananya lebih asyik. Diizinin gak?"

"Ya sudah. Pulangnya jangan kesorean. Kalo bisa jangan pake pashmina, coba mulai sekarang ke mana-mana itu pake khimar,"

"Lain kali ya, Bu. Aku hari ini mau matching sama temen-temen,"

Seperti biasa. Selalu aku yang datang terlebih dahulu. Sudah hampir satu jam.

"Udah lama, Ra? Maaf ya kita agak telat," ucap Fanya yang datang bersamaan dengan Zalfa.

"Agak? Hmmm...," balasku sedikit kesal.

"Ica mana? Katanya tadi udah otw loh,"

"Kayak gak tau Ica aja. Bukan Ica kalau gak datang paling lambat,"

...

"Assalamualaikum, duh maaf telat. Tadi sempat ketiduran. Maaf ya,"

"Udah biasa kali, Ca,"

Hening. Ya, begitulah ketika sudah serius mengerjakan tugas. Nilai lebihnya adalah tidak saling mencontek, tetapi saling mengoreksi satu sama lain. Karena memang jika kurang teleti bahkan salah dalam menempatan koma atau lupa menulis angka nol saja, semuanya salah.

"Alhamdulillah, selesai. Aku ke toilet dulu ya, kebelet,"

"Eh tunggu, Ra! Gue ikut," ucap Zalfa sambil berlari kecil mengejarku.

Setelahnya, kulihat Ica dan Fanya asyik membicarakan sesuatu sambil sesekali meringis dengan wajah yang memerah. Entah apa, tapi sepertinya itu penting.

"Pada ngomongin apa sih? Ikutan dong," rayu Zalfa dengan wajah semringah.

"Ahh, lambat. Tadi ada cowo pake kacamata...,"

"Terus-terus pake kemeja biru, jalannya gagah, keren, ganteng. Duhhhh idaman deh pokoknya," jelas Fanya yang langsung menyambar pernyataan Ica. Lengkap dengan ekspresi centilnya.

"Lalu, mana orangnya?" tanyaku dengan mimik yang datar.

"Abis beli coffe cup langsung pergi. Kira-kira kapan ya bisa ketemu lagi? Kesemsem eike,"

Tumben, pikirku ibu belum menelepon. Biasanya jika jam empat sore aku belum di rumah, ibu sudah sibuk mencari. Sementara awan sore semakin kelabu. Tetes demi tetes air hujan turun bergantian. Semakin lama semakin deras. Aku berteduh di halte dekat caffe, sembari menanti taksi online pesananku tiba. Tidak ada orang, selain aku dan sembusan hawa sejuk yang dibawa hujan. Sesekali  gemuruh guntur dan sambaran petir bersahut-sahutan.

"Sial, basah semua," keluh seorang laki-laki yang tadi kulihat berlari dari kejauhan. Ia duduk di samping kananku. Tapi tidak saling menyapa. Pukul tiga lebih empat puluh lima menit, taksi berhenti tepat di depan halte.

"Tunggu! Maaf apa ini taksi pesananmu?"

"Iya,"

"Tidak ada taksi yang lewat dari tadi. Mau pesan online tapi handphone saya mati. Boleh saya menumpang di taksimu?"

"Ya, silakan duduk di depan," jawabku tanpa basa-basi.

Semakin dingin saja. Tak ada kata yang terucap antara aku, sopir taksi dan laki-laki yang baru kutemui di halte tadi.

"Sudah sampai. Jalan Seruni nomor 10, kan? Sembilan puluh lima ribu," ucap sopir taksi yang berhenti di depan pagar rumahku.

"Biar nanti sekalian saja saya yang bayar, Pak. Setelah ini tolong antarkan saya ke Jalan Dahlia nomor 7," ucap laki-laki tadi sambil tersenyum tipis menatapku.


Khimar dari AyahWhere stories live. Discover now