Ingatanku, Datang di Saat yang Tepat

176 5 0
                                    


"Biar nanti sekalian saja saya yang bayar, Pak. Setelah ini tolong antarkan saya ke Jalan Dahlia nomor 7," ucap laki-laki tadi sambil tersenyum tipis menatapku.

"Terimakasih," hanya itu ucapan dariku sembari membuka pintu taksi dan langsung berlari membuka pagar. Kulihat ibu sudah berdiri seperti satpam komplek yang akan mengintrogasi maling.

"Kemana aja sampai senja begini baru pulang?"

"Assalamualaikum. Salam dulu, Bu,"

"Waalaikumsalam," jawab ibu dengan cepat.

"Tadi tiba-tiba hujan deras. Aku nunggu taksi pesanan lama banget. Terus di jalan macet, banyak kendaraan yang mogok. Eh tapi kok tumben Ibu ga nelpon?"

"Ibu udah bolak-balik nelpon, tapi nomormu ga aktif,"

"Ah masa, Bu? Ga ada dering telpon dari tadi," tanyaku heran sembari mengeluarkan handphone dari dalam tas.

"Astaghfirullah, ternyata handphone-ku mati, Bu. Maaf sudah bikin Ibu khawatir. Lain kali ga akan gini lagi, Bu."

"Ya sudah sana cepat mandi. Ibu sudah siapin air hangat,"

Malam harinya, entah mengapa aku merasa ada yang aneh.

Kayak pernah ketemu. Tapi di mana? Begitu gumamku dalam hati sambil terus memikirkan UAS yang sudah menanti.

Berbeda dari beberapa minggu belakangan. Hari ini cuacanya cerah. Sedari pagi matahari malu-malu menatapku dari balik awan. Sinarnya meneduhkan, tak silau. Kebetulan sekali, dia seperti sengaja memberi semangat dan dukungan untukku. Itu karena seharian ini akan kuhabiskan seluruh amunisiku di hari terakhir. Ya, hari terakhir UAS. Beberapa jam sebelumnya, kusempatkan duduk di gazebo kampus dekat kelas. Zalfa, Ica dan Fanya ternyata sudah di sana. Tapi kulihat tidak ada yang sibuk dengan buku.

"Pada ngomongin apa sih? Aku ya??"

"Jangan geer, Ra. Kita lagi ngomongin yang waktu itu di caffe. Ingat ga?"

"Yang mana? Soal Ajeng dilamar Arga? Atau soal emak-emak yang kelahi di depan komplek sampe numpahin jualannya Mang Ujang?" tebakku sambil memasukan buku yang kutenteng dari rumah.

"Bukaaaaaaan. Yang ga penting malah diingat. Ini soal,..." (terhenti begitu saja)

"Soal apa? Soal UAS? Eh kok malah pada bengong? Liat apa sih?

Aku tak memperhatikan yang mereka lihat. Fokusku pada buku catatan kecil kumpulan rumus-rumus yang kugenggam dari tadi. Ini bukan contekan. Tapi memang kumpulan semua rumus agar lebih mudah diingat.

"Assalamualaikum,"

"Waalaikumsal....lam," Aku menoleh dari pandangan yang berbeda ketika ada yang mengucap salam. Suaranya khas sekali

-Pandanganku beralih saat ada laki-laki yang sedari tadi memperhatikanku. Agaknya dia bukan orang jahat. Kemudia ia menghampiriku."Assalamualaikum. Ameera, kan? Saya Keenan, suami masa depanmu,"-

Ingatanku datang di saat yang tepat.

"Ameera, kan?" sambungnya.

Pertanyaanya tanpa embel-embel: "...Saya Keenan, suami masa depanmu,"

"Iya betul. Maaf, tau dari mana?"

"Dari buku ini," jawabnya sambil menyodorkan buku bersampul merah jambu bertuliskan Hasya Ameera Qirania. Aku bingung dibuatnya.

"Ini tertinggal di taksi waktu itu. Sudah berusaha saya panggil. Tapi agaknya sedang buru-buru. Jadi saya simpan dan kebetulan bisa bertemu di sini,"

"Oh iya waktu itu saya memang buru-buru. Terimakasih banyak,"

Dibalas hanya dengan menyunggingkan bibirnya. Melengkung seperti bulan sabit. Teduh rasanya. Ia lantas pergi tanpa mengucap salam seperti di awal.

"Ra, lo udah kenal dia? Kok ga cerita sih? Itu cowok yang gue certain di caffe waktu itu. Niatnya tadi mau lanjut nyeritain itu cowok. Soalnya tadi pagi gue ketemu di gerbang kampus," tukas Fanya dengan wajah yang penuh tanda tanya.

"Kok bisa se-taksi bareng sih, Ra? Sambung Fanya masih heran.

"Kayaknya dia mahasiswa sini juga deh. Tapi kok sebelumnya ga pernah liat yaa," tambah Ica sambil memperhatikan ke mana laki-laki itu pergi.

"Atau mungkin itu cowok salah satu yang ikut program pertukaran mahasiswa dari Bandung kali ya?" lengkap. Zalfa pun tak mau kalah.

Aku tak memperdulikan ocehan tanda tanya ketiga sahabatku. Aku sibuk dengan duniaku sendiri. Ya, takjub. Bukan takjub karena ketampanan laki-laki itu. Aku bukan Fanya yang mudah kesemsem dengan laki-laki tampan yang baru pertama kutemui. Tapi takjub pada mimpiku. Mengapa bisa sama? Tidak sama persis memang. Di mimpiku, dia tidak berkacamata. Tapi yang di dunia nyata berkecamata. Ah, mungkin matanya menjadi minus karena waktu di mimpi dia sibuk memperhatikanku tanpa berkedip. Begitu celetukku.

Dostali jste se na konec publikovaných kapitol.

⏰ Poslední aktualizace: Mar 13, 2019 ⏰

Přidej si tento příběh do své knihovny, abys byl/a informován/a o nových kapitolách!

Khimar dari AyahKde žijí příběhy. Začni objevovat