Selamat Datang

149 8 8
                                    

Halo semua. Aku Ajaib Berkacamata. Saat ini aku sedang dalam perjalanan menuju Jakarta.

Aku telah dinyatakan diterima di Insan Cendekia. Dan yang membuatku bersyukur─sekaligus tidak menyangka─adalah aku diterima di MAN Insan Cendekia Serpong, bukan Gorontalo ataupun Jambi.

Pemuda Organisasi adalah teman pertama yang kuberitahu. Ia merasa senang namun juga sedih karena tidak satu sekolah denganku. Kami menargetkan untuk masuk Insan Cendekia bersama dan ternyata hanya aku yang akan berangkat ke sana. Aku berusaha menghiburnya. Kami bisa sama-sama berjuang meskipun dia berada di MAN Malang dan aku di Serpong sana.

Aku mempersiapkan segala hal yang aku butuhkan. Di website itu tercantum beberapa file, dan salah satu file itu mencantumkan benda apa saja yang harus kubawa. Terkadang ada beberapa benda yang sulit kupahami. Misalnya buku bergaris besar: buku besar ada garis-garisnya? Atau buku yang garisnya besar-besar? Aku juga diharuskan membawa bibit: di sana hanya ditulis membawa bibit pohon buah-buahan. Terdengar sangat umum dan malah makin membuat bingung. Sebenarnya keterangan sudah dicantumkan dengan jelas, hanya dua barang ini yang masih ambigu untukku.

Ada juga data-data yang harus kuisi. Surat kontrak. Daftar kelengkapan berkas. Blah blah blah. Membuatku mumet. Makin mumet karena aku tidak punya kakak kelas di sana yang bisa kuajak konsultasi.

Ndilalah, siapa sangka anak dari teman ayahku adalah murid di MAN Insan Cendekia Serpong. Dia seorang laki-laki yang sekarang menginjak kelas XII. Namanya Ketos Berapi-api. Yah, dia memang cukup tampan. Maksudku, kita sering menemukan di komik-komik, ketua osis yang berwajah tampan dan diidolakan banyak orang, kan? Nah, dia salah satu contohnya.

Sepertinya aku mulai termakan apa kata komik. Tapi punya kenalan sebagus ini, harus kumanfaatkan baik-baik.

Walaupun sebenarnya, ibuku lebih banyak bertanya kepada ibu Ketos Berapi-api. Pupus sudah kesempatanku. Mungkin lain kali.

*

Barang-barangku sudah siap. Ayahku yang akan mengantarku mengingat barang bawaanku yang banyak betul. Aku memeluk ibuku erat-erat, beliau menyampaikan pesan macam-macam namun tak semuanya kuingat karena suasana mengharukan ini menenggelamkanku. Mungkin aku tidak akan melihat wajahnya dalam waktu lama. Mungkin rindu yang membuncah itu takkan bisa kuobati tanpa bertemu dengannya. Jakarta yang begitu jauh bagiku, takkan bisa membuatku seenak jidat melarikan diri. Tidak masalah, aku sudah pernah mondok. Jauh dari orang tua bukanlah perkara yang sulit.

Pesawat yang kutumpangi melesat menghempaskan debu tanah lapangan Bandara Internasional Juanda Surabaya.

*

Aku tidak bisa tidur.

Menumpangi alat transportasi apapun membuatku lebih mudah tertidur, kecuali jika aku menjadi pengemudi. Aku selalu tidur di dalam bis dan mobil saat perjalanan jauh untuk mencegah mual datang dan membawa muntah. Aku bahkan bisa tertidur di sepeda motor jika angin yang berhembus menerpa mataku yang tidak terlindungi oleh helm. Ayahku yang kebetulan memboncengku sampai harus memegangi tubuhku yang terlelap di belakangnya karena khawatir aku jatuh dari motornya.

Atau setidaknya aku bisa mengantisipasi rasa mengantukku dengan cara mendengarkan musik dari MP3 atau handphoneku. Mendengarkan musik membuatku merasa rileks dan mengurangi rasa mualku. Mendengarkan musik sambil menikmati pemandangan memang yahud.

Tapi kali ini berbeda. Ini adalah pertama kalinya aku naik pesawat. Aku pikir aku akan tertidur karena hembusan AC yang begitu dingin dan menggoyang kelopak mataku. Aku tidak kunjung terlelap lantaran telingaku terasa aneh. Ada yang mengganjal di saluran eustachiusku. Berkali-kali aku menelan ludahku dan merasakan ada yang plong di telingaku setelah aku melakukannya. Ayahku nampaknya memergoki ekspresiku yang ganjil.

Diari Anak IC Tahun PertamaWhere stories live. Discover now