Bagian Satu || Point Break

75 5 0
                                    


.....


Melbourne, Australia.
January 25, 2010.
02.07 AM.

"Winny, Mr. Timberlake ingin berbicara denganmu."

Sachi terdiam. Gerakan jarinya berhenti di udara, membiarkan asap nikotin terbang begitu saja tanpa sempat di hisap. Netra madunya masih setia kepada gedung-gedung kecil dibawah sana. Menikmati kali terakhir ia bisa melihat pemandangan seindah itu di malam hari. Di temani angin lembut, kulitnya menjadi dingin namun hatinya menghangat.

Sachi yang kerap di panggil Winny menghela napas. Mematikan rokoknya yang masih panjang dengan cara menekan ujung bara ke pagar pembatas gedung yang menjadi tempat duduknya kini. Merenggangkan otot-ototnya, ia melompat turun dari pagar pembatas hingga berdiri tepat didepan sosok Bennett. Salah satu anak buah dari Timberlake.

"Well, dia sudah selesai dengan wanitanya?" tanya Sachi.

Bennet hanya bisa mengangkat bahu. "Mungkin saja. Tapi kurasa ada hal yang lebih penting sampai pria tua itu tiba-tiba ingin bertemu denganmu," katanya.

Sachi tersenyum tipis. "Bersiaplah, kau tidak akan bertemu lagi denganku."

"What are you talking about?"

"Waktuku untuk tinggal di Melbourne sudah berakhir. Take care of yourself. "

Ingin berucap namun tertahan di tenggorokan, begitulah Bennet saat ini. Pria bertubuh kekar dengan jaket kulit hitam tersebut hanya bisa menatap punggung Sachi yang segera menghilang di pintu menuju rooftop.

Hanya duapuluh satu hari. Bennet mengingat betul hari dimana pertama kali ia bertemu dengan sosok bernama Winona Sachi tersebut. Timberlake, atasannya membawa gadis itu entah darimana tidak pernah ada yang bertanya. Bukan tidak ingin bertanya namun lebih kepada takut untuk bertanya. Benar, melihat pembawaan sosok Sachi tentu tidak akan ada yang ingin mencari masalah dengannya.

Bukan, Sachi bukan tipe gadis yang berpenampilan garang seperti anggota gangster dengan banyak tato. Hanya saja, gadis itu memiliki aura fajar. Kulitnya pucat pasi dengan tatapan mengintimidasi, siapapun yang hanya bertemu sekali dengannya akan berpikir dua kali untuk menjadikannya teman. Tetapi dalam kelompok ini, memiliki sosok seperti Sachi adalah keuntungan.

Damn! Bennet harus segera menyusul Sachi agar tahu apa yang akan menjadi pembahasan Timberlake dini hari ini.

Untungnya Sachi berjalan santai. Gadis itu bahkan berdiri di depan lift menunggu Bennet yang belum juga muncul di sampingnya. Saat lift terbuka, gadis itu segera menarik lengan kekar Bennet untuk memasuki lift dengan cepat. Tidak ada kata yang terucap namun dari tatapannya dan juga cengkraman gadis itu di lengannya, Bennet sadar bila Sachi tidak santai. Mungkin saja gadis itu hanya sengaja untuk menunggunya.

Suasana mencengkram dalam lift langsung berakhir kala pintu besi terbuka di lantai sepuluh. Segera Sachi melangkah, membuka salah satu paling ujung. Disana, sudah ada sosok berkemeja hitam tanpa di kancing tengah duduk bersandar pada sofa ruangan dan tangan terselip rokok. Tanpa bicara, Sachi mendudukkan diri di single sofa samping Timberlake.

"Salazar menghubungimu, huh?"

Mendengar pertanyaan langsung dari Sachi, Timberlake menghela napas berat. Pria itu meletakkan racun nikotin di atas asbak. Pria itu menatap fokus sosok gadis di hadapannya. Begitu serius membuat suasana menjadi hening seketika.

Saat semua manusia menikmati waktu istirahatnya di atas tempat tidur, hanya orang-orang aneh yang masih terbangun. Timberlake bukan orang aneh, tetapi banyak masalah yang ada di kepalanya. Bila Sachi diberikan pisau, ia akan membuka kepala pria berjanggut itu dan memberitahu apa saja yang menjadi beban otaknya. Bagi Sachi, itu kegiatan yang sederhana.

TOO ELUSIVEWhere stories live. Discover now