14. Bia atau Bilha

116 65 17
                                    

Langit memang tak pernah bosan untuk dipandang. Meskipun langit malam hadir tanpa sang bintang. Hingga menampilkan kegelapan yang menakutkan.

Sejujurnya, ia tidak terlalu menyukai hal semacam ini. memadang langit. Berdiam diri. melamun tak jelas. Jika bosan, ia akan menghabiskan waktunya bersama Ziko. Memaksa cowok itu untuk menemaninya kemanapun ia pergi. Menghilangkan rasa jenuh. Hingga tawa hadir untuknya.

Kini, sudah hampir seharian penuh, Ziko tidak mengabarinya. Ia tau, Ziko sedang menjaga Bia. tapi, meskipun hanya satu kata, ia ingin Ziko memberinya kabar. Bisa saja Bilha menghubunginya duluan, tetapi, ia takut Ziko akan mengabaikannya.

Padahal sejak tadi, ia terus memegangi ponselnya.

"Sampai kapan gue harus begini, Zik? Gue ngerasa terpukul karena perasaan gue sama elo. Gue mau elo sadar. Meskipun elo gak bakal ngebalas perasaan gue." Gumamnya sambil menatap langit malam.

Setetes air mata terjatuh membasahi wajahnya. Memang benar, karena rasa, air mata dapat terjatuh begitu saja.

Bilha lantas menghapus pelan air matanya. Menertawakan dirinya sendiri. Jika saja ada sedikit keberanian untuk mengatakan semua perasaan pada Ziko, ia gakkan menderita begini. Hanya saja arti kata sebuah perpisahaan menjadi alasan Bilha untuk takut mengatakannya.

Bilha menyudahi menatap langit malam. Ia beranjak dari kasurnya untuk menuju pintu kamarnya. Sudah hampir setengah delapan. Ia ingin membantu bunda untuk menyiapkan makan malam. Walaupun bundanya selalu melarang dan memerintahkan Bilha untuk duduk saja. Tetap saja ada keinginan kecil Bilha untuk membuat hal sepele menjadi membekas. Sebelum kepergian menjemputnya.

Baru saja Bilha akan membuka pintu. Tiba-tiba saja rasa sakitnya kembali kambuh. Membuat tubuhnya terhuyung jatuh tepat di samping meja nakas dan bersandar pada pintu kamar. Dadanya sakit. Sangat sakit hingga membuat pandangan Bilha kabur. Meskipun sebisa mungkin, ia masih melihat samar-samar meja nakas itu untuk mengambil obatnya.

Rasa sakitnya membuat air mata kembali terjatuh. Bahkan terisak.

Obat. Ia butuh obat untuk saat ini. Ia tidak ingin bunda melihat keadaannya sekarang. Ia gak ingin bundanya kembali cemas. Ia gak ingin membuat bundanya menangis.

Hanya saja rasa sakitnya, membuat Bilha meremas pakaian dengan kuat. Memukul dadanya dengan kuat yang terasa sakit. Tapi, rasa sakit tak juga hilang.

Bilha menggelengkan kepalanya sekuat mungkin.

Jangan sekarang. Masih ada yang ingin ia lakukan. Ia tak ingin pergi tanpa kata perpisahaan. Tanpa meninggalkan jejak kebahagiaan untuk mereka.

Sekuat tenaga, Bilha bangkit dari jatuhnya dengan salah satu tangan kanannya memegang kuat meja nakas. Dengan tangis yang ia coba untuk hentikan, Bilha membuka pelan, laci meja nakas itu hingga menampilkan beberapa pil obat dalam kemasan.

Dengan cepat, Bilha meneguk beberapa obat dan kembali bersandar pada pintu kamar.

Air mata meninggalkan bekas. Meskipun rasa sakitnya memudar hilang, tetap meninggalkan rasa perih.

Bilha tau, waktu takkan lagi mengizinkan ia berlama-lama berada di dunia. Tetap saja, ia meminta waktu untuk memberinya sedikit lagi waktu agar Bilha pergi tanpa membuat orang tuanya sedih. Juga membuat Ziko bahagia.

***

"Bunda, ajarin Bilha masak dong." Katanya yang kini duduk di meja makan saat melihat bundanya sibuk mondar-mandir meletakan makan malam mereka di meja. Seperti perkiraannya, bunda memaksa Bilha untuk duduk tanpa harus membantu.

FeelingWhere stories live. Discover now