Bapak

171 4 0
                                    

       Hujan baru saja turun membasahi kota London sore ini. Beberapa butirnya hinggap lembut di kaca jendela kamarku. Kamar dari sebuah flat sederhana yang kusewa sebagai tempat tinggalku selama sebulan bertugas di kota yang terkenal dengan telepon umumnya yang berwarna merah. Aku ditugaskan oleh sebuah majalah yang cukup terkenal di Indonesia untuk menulis mengenai pekembangan Islam dan pesatnya pertambahan Muslim Inggris khususnya di London.

       Suara berdegung yang cukup nyaring terdengar dari teko yang sedari tadi kupanaskan. Kuambil gelas yang memang sengaja kubawa dari Indonesia. Gelas seng yang sering digunakan oleh orang tua dulu, berbentuk sedang dan berwarna hijau muda dengan penutup yang berwarna senada. Bapak yang menghadiahkannya padaku saat Aku memasuki masa kuliah. Kata Bapak gelas ini lebih berguna dibandingkan baju baru ataupun tas baru. Benar saja, masa kuliahku banyak kuhabiskan dengan mengerjakan tugas yang seperti tidak ada hentinya, selalu datang tugas baru disaat Aku baru menyelesaikan satu tugas. Saat-saat seperti itu biasanya Aku ditemani gelas pemberian Bapak dengan kopi hangat di dalamnya. Teman sekaligus penghilang lelah dan kantuk.

       Oh Bapak.

       Gelasku kini sudah terisi Arabika hangat yang berasal dari Toraja. Aromanya dan juga kepulan asap lembutnya membawaku kembali kemasa dimana Bapak duduk santai di teras setiap sorenya bercerita tentang berbagai macam kejadian dalam hidupnya dan juga beberapa petuah yang saat Aku beranjak dewasa baru Aku mengerti maksudnya. Tak jarang Bapak juga menjawab beberapa pertanyaanku yang kadang menyebalkan dan tidak terfikir untuk ditanyakan. Tapi Bapak tidak pernah enggan dan selalu punya jawaban. Seperti saat itu Aku bertanya padanya "Pak, kenapa Bapak kalau minum kopi gelasnya selalu dua?" Bapak itu kalau minum kopi selalu minta dibuatkan dua gelas. Bapak tersenyum sebentar lalu menyeruput habis salah satu gelas kopinya dan meninggalkan ampas.

        "Karena dua lebih banyak daripada satu." Bapak tersenyum lagi dan menyeruput kopi di gelas yang kedua.

       "Aduh Bapak. Seriusan sedikit lah. Aku itu nanyanya serius Pak."

       Aku sangat penasaran pada saat itu, mengingat hanya Bapak setahuku orang yang minum dua gelas kopi dalam satu waktu ditambah gelas satu dan yang satunya lagi memiliki rasa yang berbeda. Satunya pahit dan satunya manis. Seperti cerita-cerita horor yang menyajikan kopi manis dan kopi pahit untuk sesajen.

       "Ini!" Bapak menyodorkan gelas pertama yang yang telah Ia seruput habis.

       "Ampas, Pak?" Tanyaku heran. Tapi Bapak menyuruhku untuk menyeruput sedikit. Rasanya pahit. Kopi tanpa gula saja sudah pahit apalagi jika hanya ampas. Mataku tertutup rapat menahan rasa pahitnya. Saat itu aku memang belum terbiasa minum kopi. Setelahnya Bapak menyodorkanku gelas kopi keduanya, juga menyuruhku menyeruput.

       "Enak!" Satu kata yang keluar dari mulut ku setelah merasakan kopi dikedua gelas Bapak.

       Bapak kemudian menjelaskan "Minum kopi dengan cara begini sama seperti hidup Kinanthi. Minum yang pahit dulu baru yang manis kemudian. Begitu juga manusia dalam menjalani kehidupan. Berusaha keras dulu, minum yang pahit dulu baru menikmati hasilnya, minum yang manisnya. Kalau kata Ibu, bersakit-sakit dahulu baru bersenang-senang kemudian. Benar nda, Buk?" filosofis sekali Bapakku ini. Saat itu Ibu datang dengan membawa beberapa cemilan dengan wajah yang bersemu karena ulah Bapak yang menggodanya. Aku dan Bapak tertawa tanpa aba-aba melihat tingkah Ibu yang sedikit malu.

       Kopiku kini tinggal setengah tapi hujan masih enggan meninggalkan kota bahkan hanya sekedar untuk mereda. Sewaktu kecil Aku ingat betul Ibu tidak suka jika Aku bermain hujan atau Aku dan teman-temanku menyebutnya mandi hujan. Pernah satu sore hujan sangat deras, Bapak seperti sore-sore biasanya duduk di teras sambil ditemani dua gelas kopi kesukaannya, Arabika Toraja. Bosan hanya dengan memandangi hujan Aku bergeser sedikit ke tepi teras menjulurkan tanganku agar terkena hujan. Sedikit demi sedikit Aku bergeser sampai seluruh tubuhku terkena siraman hujan. Bapak hanya tertawa kecil melihat tingkahku yang sebenarnya sejak tadi ingin mandi hujan. Tapi Ibu sebaliknya. Ibu datang dari dalam rumah hanya untuk menegurku agar cepat masuk rumah dan mengeringkan badan.

       "Kinan! Kinanthi! Cepat masuk nak. Nanti kamu sakit." Ibu terus berteriak menyuruhku untuk masuk, tapi Aku masih ingin berlama-lama mandi hujan. Akhirnya Ibu kewalahan dan menyuruh Bapak untuk membujukku masuk.

       "Kinanthi, ayo masuk. Nanti kamu sakit kalau lama-lama mandi hujan. Kalau kamu sakit kamu nda bakalan bisa jadi besar badannya, nda jadi besar itu artinya kamu nda bakalan dibolehin Ibu minum kopi loh." Oh Bapak. Kata-katanya saat itu sangat menakutkan bagiku. Aku ingin tumbuh besar dan Aku ingin sekali minum kopi setiap hari seperti bapak. Aku akhirnya mengalah.

       Setelah mengeringkan badanku Ibu memanggilku dari dapur. "Kinan, minum tehnya dulu biar kamu nda kena flu."

       "Ibu, Aku nda suka teh. Teh itu rasanya lebay!"

       "Lebay bagaimana?" Tanya Ibu padaku sambil tertawa geli.

        Oh iya, lebay bagaimana yah? Aku juga tidak tahu. Tapi yang pasti Aku tidak suka teh. Aku tidak suka rasanya.

       "Ibu, Aku ingin minum minuman seperti punya Bapak."

       "Kamu masih kecil Nak. Kopi itu minumannya bapak-bapak, Kinan."

       Akhirnya Ibu mengganti teh dengan susu coklat atas saranku karena Aku pikir warnanya hampir sama dengan kopi dan Aku akan membayangkan seolah-olah meminum kopi.

       Sejak pertama kali merasakan kopi yang diberikan Bapak dengan tanpa setahu Ibu pastinya Aku mulai tertarik dengan rasanya. Pahit memang tapi Aku suka. Jika ada yang harus Ibu salahkan karena Aku selalu ingin minum kopi orang itu adalah Bapak. Bapak yang sudah dengan manisnya memperkenalkanku pada si pahit munuman bapak-bapak.

AmpasWhere stories live. Discover now