Chapter II. How I Show my Jealous About you!

975 103 69
                                    

Perkiraan Kenzie meleset sama sekali.

Bukan, bukan tentang Reyhan yang akan kembali padanya dan memaafkannya lagi dan lagi. Tapi tentang dirinya. Kenzie tidak tahu apa yang merasukinya saat keesokan harinya semua telpon dan chatnya yang bertubi-tubi tak satu pun yang dibalas oleh Reyhan. Kenzie tak tahu kenapa dia peduli, padahal untuk mengakui laki-laki berwajah lembut itu sebagai pacar saja ia tak sudi.

Seorang gadis berambut panjang membukakan pintu ketika ia datang ke rumah Reyhan. Tatapan gadis itu tajam meniliknya sebelum mempersilahkan Kenzie untuk masuk. Padahal Kenzie belum bilang apa-apa, tapi gadis itu seakan mempunyai indra ke-enam. Tanpa banyak bicara, gadis itu memberinya isyarat untuk mengikutinya ke sebuah kamar yang berada di lantai dua, dan membuka salah satu dari sekian banyak pintu kamar yang ada di lantai dua tersebut. Kenzie baru tahu kalau Reyhan adalah seorang yang cukup berada.

Di dalam kamar, terlihat sosok Reyhan yang tengah duduk di ranjangnya dengan mulut dan hidung yang tersumpal oleh kantong kertas yang dipegangnya. Alis Kenzie bertaut heran, apa yang sedang dilakukan laki-laki itu dengan menutup hidungnya dengan kantong kertas? Dengan langkah ragu-ragu, Kenzie masuk dan berjalan mendekati Reyhan yang tampaknya tak menyadari kehadirannya. Mata Kenzie menangkap ada beberapa obat-obatan dan kompres yang tergeletak di nakas.

Tak lama kemudian barulah Reyhan melepaskan kantong kertas tersebut dan menatap Kenzie dengan raut terkejut. Kenzie juga tak kalah terkejutnya kala melihat betapa kacaunya wajah Reyhan. Mata yang memerah, sembab antara habis menangis atau kurang tidur. Wajah yang kuyu dan sakit, pucat dan setengah putus asa. Kenzie sampai merasa kesulitan untuk menelan ludahnya sendiri.

Dan kali ini, tak ada senyum sedikit pun di wajah Reyhan. Padahal biasanya Reyhan selalu akan tersenyum setiap kali bertemu dengannya. Tak peduli betapa kusutnya wajah Kenzie saat bertemu dengannya. Tak peduli ada masalah apapun, senyum Reyhan akan selalu muncul kala melihat Kenzie.

Dan sekarang senyum itu menghilang. Atmosfer di ruangan itu terasa berat dan mencekam. Reyhan benar-benar bersikap dingin padanya, sesuatu yang baru pertama kalinya terjadi. Kenzie biasanya selalu bisa bersikap santai menghadapi apapun. Tapi untuk kali ini ia kehilangan sikap tenangnya tersebut.

“Rey... Lo sakit ya?”

Pertanyaan bodoh. Reyhan bahkan tidak menengok sedikit pun padanya. Kenzie mati kutu. Laki-laki itu akhirnya memilih untuk duduk di sisi Reyhan di pinggir ranjang. Reyhan memainkan kantong kertasnya, sementara napasnya sudah mulai terdengar pendek-pendek.

“Rey, lo baek-baek aja?” tanya Kenzie diliputi kepanikan saat napas Reyhan makin cepat dan pendek-pendek. Reyhan tak menjawab, hanya mengambil kantong kertasnya lagi dan kembali bernapas melalui kertas tersebut. Beberapa menit yang menyiksa, Kenzie merasakan de ja vu. Saat seseorang yang ia sayangi meregang nyawa di depan matanya. Dan berujung pergi meninggalkannya. Perasaan yang menyiksa, sebuah kerinduan, juga rasa sakit tak berwujud.

“Kamu ada perlu apa kemari?”

Suara Reyhan yang tak lebih keras dari desahan itu menyadarkan Kenzie dari serangan de ja vu. Cowok ‘sakit’ itu menatap Reyhan lekat-lekat.

“Lo marah sama gue?”

“Aku nggak ada hak juga sih. Gak usah buang-buang ludah nanyain hal yang gak penting kayak gitu.” balas Reyhan dingin. Kenzie merasakan bulu kuduknya berdiri. Reyhan dalam mode ngambek begini ternyata cukup menakutkan. Kenzie sudah kadung datang, tak mungkin dia kembali dan mundur tanpa hasil.

“Lo jawab aja sih!” Kenzie mulai dengan sifat khas uke-nya, merajuk seperti anak kecil, atau seperti uke yang tak pernah salah.

Reyhan menghela napas lelah, menatap Kenzie dengan ekspresi terluka.

When Kenzie Meet KarmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang