OSIS

17.9K 2.2K 303
                                    

Sekarang,

aku tidak butuh pulpen

aku tidak butuh buku tulis

aku juga tidak butuh uang jajan lebih.

Sekarang,

aku butuh seismograf,

untuk mengukur,

kekuatan getaran yang kamu ciptakan,

padaku

****

Panas terik menyapa pertengahan bulan Juli. Masa Orientasi Siswa resmi berakhir. Aktivitas belajar pada minggu awal mulai berjalan normal. Siswa baru mulai berbaur dengan lingkungan sekolah, mereka yang awalnya sungkan ke kantin atau bingung mencari ruangan, perlahan mulai percaya diri dengan lingkungan sekolah baru.

Siang ini, pada jeda sebelum masuk ke jam ke-dua pelajaran, Nisa menyempatkan diri untuk mengintip majalah kesukaannya. Sebuah majalah yang menampilkan wajah cowok-cowok korea.

"Anjir ini bias gue! Ya Allah mengapa engkau menciptakan mahluk setampan oppa?!" Fifi menunjuk gemas pada salah satu personil dari boyband kesukaannya.

Nisa juga ikut-ikutan menatap majalannya itu dengan tatapan putus asa. Kencintaanya pada boyband korea memang sudah tidak bisa diukur lagi kadarnya.

"Seseorang tolong, selamatkan gue dari pesona cowok-cowok yang enggak bisa gue milikin!" Nisa menjatuhkan dagunya di atas meja.

Semantara Fifi membuang napas sembari menopang rahang dengan tangan. "Iya, ya? Gimana ya biar nggak terlalu baperin oppa?"

Nisa melirik Fifi sejenak. "Kayaknya kita harus cari kesibukan lain. Ikutan ekstra apa kek gitu?"

"Yang jelas jangan mading sih, soalnya bisa tambah baper kita, apalagi kalau masuk rubuk entermaiment. Fangirl mulu, non stop." Fifi ke atas, membayangkan dirinya bergelut dengan puluhan majalah dan artikel tentang K-pop.

Beberapa detik mereka diam. Larut dalam pikiran masing-masing, sampai Fifi akhirnya membuka suara. "Lo tertarik nggak masuk OSIS?"

"OSIS? Boleh juga." Nisa mulai mengeggakkan badannya.

Fifi menarik dua sudut bibirnya hingga membentuk senyuman yang khas. "Iyoi. Sekalian ngelatih leadership."

Nisa menaikan sebelah alis, dia menyipitkan mata memandangi wajah sahabatnya yang sedikit memiliki darah jawa. Detik berikutnya Nisa terkekeh. "Gaya lo, Fi. Bilang aja mau ngecengin senior-senior."

Fifi meringis malu hingga lesung pipitnya terlihat. "Lo kalau ngomong suka bener, Nis. Emang lo nggak tertarik sama mereka?"

Nisa tampak berpikir sejenak, sebuah pulpen diletakkan di dagu. "Hm, belum ada, sih."

"Ah, sok banget sih lo. Padahal pas MOS kemarin banyak banget senior yang ngeliatin lo. Masa nggak ada satu pun yang nyantol?" Itu kenyataan.

Saat MOS minggu kemarin, Nisa menjadi salah satu siswa yang menjadi lirik-lirikkan senior. Wajah kalem dan penampilan Nisa yang sederhana membuat siapa pun susah untuk tidak membuat perhatian cowok-cowok tersita. Lagi, Nisa memiliki senyum maut yang jarang terlihat, namun sekali tersungging, bisa membikin dada para cowok gemetaran.

"Yeee, emang belom ada. Kalau urusan hati, gue cukup selektif, soalnya gue belum pernah pacaran sama sekali. Soalnya gue nggak mau tuh ngerasain sakit yang nggak berdarah." Nisa berkata jujur, dia memang belum pernah pacaran sama sekali.

"Yaelah, Nis. Polos banget, sih. Patah hati itu udah sepaket sama jatuh cinta. Kalau lo nggak berani patah hati, ya jangan jatuh cinta," Fifi menasehati.

SUARA RASAWhere stories live. Discover now