Kekasih

1.5K 420 70
                                    

🌸

Konon, katanya kalau ada perawan tua di desa kami, maka akulah orang yang dimaksud. Acap kali aku jadi buah bibir; dibicarakan sana-sini, satu rusun ke rusun, dari desa ke desa. Tidak ada satupun yang tak kenali aku sebagai si calon perawan tua.

Usiaku sudah belasan tahun, sudah pantas untuk dipingit. Tapi, tak ada satupun keluarga yang ingini aku. Aku tak tahu musababnya bagaimana. Kata mereka aku cantik, barangkali aku adalah bunga desa. Tapi, tak mengerti pula aku mengapa tak ada anak lelaki yang sowan rumahku; lamar aku untuk diperistri.

Aku tak pernah harus masygul sebab disoroti jadi perawan tua. Aku tak sesali apapun; bukan salahku, barangkali mereka yang tak pahami aku.

"Masa gadis sejelita engkau tak punya kekasih? Calon barangkali? Tak benar-benar ada yang kau sukai?"

Suatu hari Rengganis bertanya padaku. Ia kawanku, yang beberapa bulan lagi akan diperistri seorang sinyo. Waktu itu aku berkunjung ke gubuknya, ia anak seorang petani tebu. Aku berkunjung sebab ia sedang dipingit, dan aku merasa harus membantunya untuk mempersiapkan pernikahannya.

Aku mengangguk, menyetujui ucapannya, "Tak ada lelaki yang kusukai."

"Ada yang datang minta kau?"

Aku mengedikan bahu, "Tanya pada bapakku. Sepertinya tidak ada."

"Aneh." Rengganis bergumam, mengerutkan kening. Sedang bersijingkat mungkin dengan pikirannya, "Bapak kau kan, jurutulis. Masa tak ada yang mau kawini engkau."

Aku tak merasa bahwa itu adalah suatu yang aneh, itu wajar saja. Menikah itu hanya sebuah praktik. Siapa yang tahu, nun jauh di sana hatiku sudah dikawinkan oleh Yang Maha Kuasa. Siapa yang tahu. Aku tak pernah repot-repot untuk mencari tahu dan bersedih.


© ikvjou ©


Menyusuri jalanan berbatu, aku tak pernah merasa harus tertampar oleh angkuhnya sinar mentari siang ini. Di atas jalan berbatu, aku melaju bersama beberapa dokar yang pulang-pergi melintas. Sedikit-sedikit aku menunduk waktu mendengar rendah-riuh di bawah pohon beringin di depan jalan sana.

Ada beberapa totok, sinyo, dan perjaka pribumi yang berkumpul. Entah sebab apa pula, aku tak mau tahu. Aku ingin lewat, tapi aku merasa takut. Jadilah aku menepi sebentar di sebuah gubuk tua di dekat pohon. Ngaso sekaligus harap-harap kalau para jejaka itu segera enyah, memberikanku permisi untuk lewat.

"Buat apa kau di sini, Nak?"

Aku bersijingkat dengar suara parau barusan. Entitas seorang nenek tua; keriput, bungkuk, dan mulutnya kemerahan mengunyah sirih, ada di sebelah. Bersegeralah aku menyingkir, memberi jarak dengan nenek yang tidak aku kenal.

"Kau Gendis? Anak Wanto si jurutulis itu?"

Aku mengangguk.

"Buat apa kau di sini, Nak?"

Dibuat berpikirlah aku jadinya ditanya begitu. Aku menunduk dalam-dalam seraya menghadap ke arah pohon beringin di ujung sana─yang masih ramai oleh para jejaka. Si Nenek mengikuti arah pandangku, lalu ia tetawa-tawa; suaranya lebih mirip terbatuk-batuk, atau ringkihan sapi.

"Setia betul kau ini, Nak. Duhai, senang betul kekasih engkau itu."

Aku mengernyit, tahu kalau jadinya begini. "Aku tak punya, Nek. Tidak punya kekasih."

Si Nenek kembali tertawa-tawa. Sebagian ludahnya muncrat ke sana kemari, berwarna merah kecokelatan. "Engkau punya satu, wahai Gendis si kembang desa."

"Aku tak punya, Nek. Sungguh. Betulan aku tak miliki."

Kembali Si Nenek tertawa-tawa, "Kau punya, Gendis. Aku bisa lihat dari dua bola mata kau."

Si Nenek benar-benar jadi sok tahu dengan argumennya sendiri. Aku merasa sedikit kesal, namun segera kukubur dan kuredam.

Aku sudah biasa dituding miliki kekasih. Ada yang bilang aku sudah jadi seorang nyai, ada yang bilang aku simpanan gubermen. Tak ada yang benar-benar betul dari buah bibir keliru itu. Aku masih sendiri. Gendis si calon perawan tua.

"Setidaknya kau punya satu kekasih. Aku bisa lihat itu. Aku yakin."

Aku jadi merasa penasaran. Siapa gerangan yang dibicarakan nenek tua ini? Yang dikira-kiranya ia pikir adalah kekasihku?

"Memang, siapa kekasih yang tengah nenek bicarakan itu?"

Si Nenek mengunyah sirihnya dengan takzim. Ia tersenyum menyeringai, menyombongkan giginya yang kemerahan.

"Tuhan engkau."

🌸

Lakon Manusia ✔Where stories live. Discover now