Pingsan

2.8K 160 4
                                    

"Duh, Ran. Sehun kemana, ya?" tanyaku resah. Gimana nggak? Jam istirahat udah berlalu dan guru udah mengajar di kelas, tapi Sehun belum juga kembali. Sehun bukan tipe murid yang akan cabut pelajaran walaupun saat ini adalah pelajaran yang paling dibencinya yaitu Sejarah.

"Gue juga nggak tahu, Dys. Emang tadi dia kemana?"

"Tadi dia ke," aku berhenti sejenak. "Oh, iya! Tadi dia bilang dia mau nemenin Daniva keliling sekolah. Gue baru inget!" seruku heboh.

"Daniva? Daniva yang kemaren kita pergokin makan bareng Sehun itu?"

"Iya. Dia sekolah disini sekarang. 11 IPA 6."

"Lah, terus kok sekarang belum balik?"

Aku mengangkat bahuku. Kutautkan jari-jari tanganku dan meletakkannya di dagu. Aku terus menatap pintu kelas, berharap Sehun segera muncul. Apa, sih, yang dilakukannya dengan Daniva sampai melewatkan kelas? Nggak mungkin mereka nggak dengar bel yang bunyinya nyaring banget itu.

Tubuhku menegak kala aku melihat Sehun mengetuk pintu kelas. Ia memasuki kelas dan menghampiri meja guru. Bu Frida sebenarnya nggak tahu kalau ia kekurangan satu muridnya. Tapi karena Sehun mengaku bahwa ia telat, Bu Frida langsung memarahinya.

"Apa yang membuat kamu terlambat masuk kelas saya?" tanya Bu Frida garang.

"Tadi waktu bel bunyi, saya masih belum siap makan," jawab Sehun tenang.

Aku terperangah. Apa-apaan Sehun ini? Sejak kapan dia berani makan saat bel sudah berbunyi? Apa karena Daniva? Ah, aku udah punya feeling dari awal kalau Daniva akan membawa pengaruh buruk pada Sehun.

Tunggu. Mataku dapat melihat dengan jelas keringat di kening Sehun. Ini bukanlah pemandangan biasa karena Sehun bukan orang yang suka berkeringat. Ia sangat menghindari aktivitas yang membuatnya berkeringat. Tapi, kenapa saat ini dia berkeringat? Dan kenapa setelah bersama Daniva? Batinku makin was-was aja.

"Kamu berdiri disitu," perintah Bu Frida sambil menunjuk sudut depan kelas. Sehun melangkah ke sudut kelas dan berdiri disana dengan kepala tertunduk. Ia mengusap keringat di dahinya menggunakan punggung tangan. Aku nggak tega melihat Sehun dihukum begitu. Tapi aku juga kesal, kenapa dia harus berlama-lama dengan Daniva.

Saat pergantian pelajaran, aku langsung mendatangi Sehun yang telah duduk di bangkunya. Aku membawa botol minumku yang setiap hari kubawa dari rumah. Sehun sedang mengetik sesuatu di ponselnya. Aku penasaran, sih, tapi aku kan harus menghargai privasi Sehun.

"Kamu kenapa telat masuk tadi?"

"Nggak denger bel," jawabnya pelan.

"Hah? Kepalaku sampe sakit karena belnya kenceng banget tapi kamu malah nggak denger?"

"Suara kamu jauh lebih kenceng, Belle," kata Sehun sambil menutup kedua telinganya dengan tangannya.

Oke, mungkin aku terlalu histeris mendengar alasan Sehun. Tapi wajar, kan, aku histeris? Masalahnya, alasan itu bener-bener nggak masuk akal. Nggak mungkin banget dia nggak denger bunyi bel yang begitu memekakkan telinga.

"Kamu nggak percaya?" tanya Sehun.

"Bukannya gitu. Tapi masa iya kamu nggak denger bel? Jujur deh sama aku."

"Berarti kamu nggak percaya sama aku," ucap Sehun.

Aku menghela napas panjang. Aku bukan nggak percaya sama Sehun, tapi aku nggak percaya sama alasannya. Pasti ada sesuatu yang disembunyikannya. Tapi, semua hal dalam diri Sehun memang misterius, sih, soalnya dia pendiam banget.

"Coba jelasin ke aku, kenapa tadi kamu bisa keringetan? Secara kamu jarang banget, kan, keringetan," sepertinya aku mulai frustasi.

"Aku langsung lari begitu sadar kalo aku udah telat," jelasnya singkat.

The Closer I Get To YouDonde viven las historias. Descúbrelo ahora