Chapter 9 (Keputusan Mutlak)

235 28 1
                                    

Author Point of View.

Bola mata Heidi menelanjangi kegelapaan langit malam. Kedua tangannya terlipat, mengijinkan semilir hembusan dingin angin malam menggelitik wajahnya. Jejak cahaya dari bintang jatuh mengalihkan perhatian Heidi, kali ini dia tidak sedikitpun menyesali keputusannya untuk menyendiri di sini, karena ia bisa menyaksikan bintang jatuh yang jarang terjadi.

Turun dari BMW M 9, Heidi bersama dengan Arthur melewati pintu besar yang terbuat dari kaca, menginjakkan kakinya di aula perusahaan Benedict. Puluhan kepala yang tertunduk hormat menjadi hadiah pertama yang menyambut Heidi dan juga Arthur yang berjalan di belakangnya. Tanpa repot-repot menatap para karyawannya, Heidi melangkah tanpa lupa menakuti mereka oleh langkah angkuhnya. Sekujur saraf Arthur terguncang oleh aroma Heidi. Bukan wangi dari parfum, ini aroma asli Heidi. Heidi sudah mengambil posisi setelah Arthur menutup pintu. Langkah kakinya membawa Arthur mendekati Heidi.

"Bagaimana dengan Peter?" Tanya Heidi.

"Hari ini Tuan Peter sudah memasuki perusahaan Nona Rechellia." Jawab Arthur.

"Dan posisinya?"

"Untuk sementara ini Tuan Peter menjabat sebagai General Manager sampai ia dinyatakan pulih total."

"Ah.. aku mengerti. Berapa lama lagi?"

"Maaf nona?"

"Berapa lama lagi ia akan pulih?"

"Menurut prediksi dokter sepertinya satu bulan lagi." Jawab Arthur tenang. Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa detik, sebelum Arthur bersuara. "Ini belum berakhir nona. Selembar surat wasiat tidak bisa menggoyahkan nona."

Seulas senyuman tersungging di wajah Heidi. Kedua matanya terpejam. "Kau benar, ini belum berakhir." Gumannya, mencoba menguatkan diri.

Tanpa perlu mengetuk pintu terlebih dahulu, Heidi memasuki ruangan Peter. Mendongak ke atas, untuk sejenak pupil Peter mengecil melihat siapa yang datang. Raut datar segera menghanguskan keterkejutan itu. Dalam diam suara hati Peter mengutuki tatapan Heidi yang selalu merendahkan dan mampu menindas orang-orang. Sorot mata itu adalah hal yang dulunya sangat menakutkan bagi Peter kecil, lebih dingin dari sebongkah es batu raksasa Kutub Selatan, lebih tajam dari pedang, lebih dalam dari parit laut. Dan itu adalah makanan Peter setiap kali ia berpapasan dengan kakaknya. Tubuh Peter bangkit dari posisinya. Hatinya berteriak tidak suka dan menolak perbuatan tubuhnya yang mempersembahkan tundukkan hormat pada Heidi, karena bagaimanapun juga Heidi adalah atasannya, wanita ini masih menggandeng status dan kekuasaan sebagai CEO Benedict Hope.

"Ada apa kau datang kemari kakak?" Bibir Peter tidak lupa diri, berusaha tetap sopan, meskipun kata hatinya sendiri tidak dapat menyangkal bahwa itu hanya basa-basi belaka.

Heidi meletakkan sebuah file besar di meja. "Tenang saja, aku kemari hanya untuk mengantarkan itu." Mata Heidi menunjuk tumpukkan kertas itu dengan matanya. "Kau sudah absen terlalu lama dari yayasan. Baca dan pelajari semua itu jika kau tidak ingin dipecat. Selamat atas kesembuhanmu. "Senyuman miring menyinari wajah Heidi. Bahkan anak-anak pun tahu kalau senyum itu palsu. Heidi tidak mengharapkan kesembuhan Peter, lebih tepatnya tidak mengharapkan kehidupan Peter. Berbalik, Heidi hendak menghapuskan keberadaannya.

Suara Peter membekukan tubuh Heidi. "Aku tidak menyangka kalau boneka hidupmu itu sangat setia. Bahkan yayasan juga sudah menjadi bonekamu."

"Apa maksudmu Peter?" Heidi berdesis, emosinya mulai terganggu.

"Tapi apa kau tidak merasakannya kakak? Boneka hidup itu sepertinya memiliki perasaan yang salah. Kesetiannya yang memuakkan itu bisa menumbangkanmu perlahan."

Stained HeirsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang