35. Permintaan Ketiga Ali

34.5K 2.8K 210
                                    

" Kesabaran adalah saat dimana dirimu mampu menahan diri untuk bertindak di waktu yang lebih tepat"

Sebuah suara menyadarkan Dewa. Ketika ia mendongak, dilihatnya wajah yang beberapa hari belakangan ini sering ia dapati.

" Setengah jam berada di sini dan kamu belum memakan satu bakso pun." Komentar Alex menyandarkan tongkatnya di meja. Dewa menyingkirkan bakso ke tepian dan mengangguk hormat pada Alex.

" Kita belum punya waktu berbincang. Padahal aku sudah hampir empat bulan di sini." Kata beliau lagi yang hanya memesan segelas air putih.

Dewa menatap Alexander Halid yang tidak pernah kehilangan aura kekuasaannya. Mata tajam itu masih sama. Rahang tegas itu masih sama. Yang berbeda adalah tubuhnya yang semakin kurus, juga rambutnya yang kian memutih.

" Bagaimana kabar anda?" Tanya Dewa sopan, " Hari ini jadwal anda periksa, kalau saya tidak salah."

Alex mengangguk-angguk, " Kamu tidak salah, dan jangan terlalu formal denganku."

Dewa hanya mengangguk sekilas untuk berterima kasih.

" Aku mengganggu makan siangmu?" Alex mengedik ke arah semangkuk bakso Dewa yang belum tersentuh. Dewa menggeleng singkat.

Alex tersenyum, kemudian mengamati sekelilingnya.

" Dulu, Nala sampai menangis di kakiku untuk meminta izin membangun panti asuhan ini." Ucap Alex tiba-tiba. " Aku tidak pernah tahu apa yang dialami anak-anakku ketika aku pergi. Sekarang, aku sadar bahwa aku melewatkan banyak hal."

Dewa mengangguk menyetujui. " Anda melewatkan banyak hal." Ucapnya membuat Alex terkekeh.

" Kamu marah padaku?" Tanya Alex tiba-tiba.

Dewa menatap Alex sejenak, yang menatapnya dengan ketenangan yang nyata seolah pertanyaan tadi adalah tantangan.

Dewa menggeleng. " Tidak."

Alex menghembuskan nafas. " Aku sudah memperingatkanmu, Dewangga. Dan kamu menyakiti anakku."

Kata-kata Alex membuat Dewa memejamkan mata.

" Fabian. Bagaimana pendapatmu tentang dia?"

Dewa membuka mata ketika yiba-tiba Alex merubah topik. Alex membalas tatapannya dengan tangan tertangkup, terlihat tenang dan tidak tergesa. Membuat Dewa menilai kembali apakah lelaki separuh baya di depannya ini marah atau tidak.

" Dia lebih mengerikan daripada anda." Jawab Dewa jujur. " Dan obsesif pada Nala seperti anda."

Mendengarnya, Alex tertawa.

" Pertama kali Fabian bertemu Nala, dia benar-benar menyayangi Nala. Dalam beberapa hal, Fabian merasa cemburu pada Radit. Itu alasannya dia memanggil Nala sebagai Kana. Kamu pasti sudah mengetahuinya." Jelas Alex berbinar.

Bagaimana dia bisa begitu berbinar ketika darah dagingnya terbaring di rumah sakit? Bahkan selama empat bulan ini, Dewa kesulitan menelan makanan karena pikirannya yang selalu terbang kepada Nala. Tapi sepertinya Alex sama sekali tidak terganggu. Atau mungkin, dia menyembunyikan kekhawatirannya dengan sangat baik.

"Kamu pasti sudah mengetahuinya. Dia anak sahabat terbaik Eva, Julliane. Dia mewarisi segala ketangkasan dan kecerdasan dari ayahnya, seorang agen intelijen Perancis. Ah, tentang ini, aku baru saja mendapat laporan bahwa dia memakai hak istimewanya di lingkungan Intelijen untuk meminta bantuan penyelidikan pada kasus Nala. Berani sekali, sangat bisa menilai situasi." Ucap Alex mengangguk-angguk sembari mengerucutkan bibirnya.

" Pada dasarnya, anak itu memang sudah berbakat. Tinggal dipoles sedikit, Fabian tumbuh menjadi sesuatu diluar ekspektasiku. Sikap overprotektifnya terkadang mengkhawatirkan. Tapi aku tidak mengeluh. Itu caranya menjaga miliknya yang berharga. Dalam hal ini, kalian berdua mirip." Alex mengangkat alis, " Tapi dia masih perlu bimbingan darimu."

ENTWINED [COMPLETED]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt