Everybody Changing

5.7K 993 101
                                    

But Everybody changing, and i don't feel right

.

.

.

Setelah di perbolehkan pulang oleh dokter yang adalah temannya sendiri - Fazka, Narend lebih memilih tinggal bersama dengan orang tuanya, tentu saja. Dia tidak mau merepotkan teman - temannya dengan keadaan kakinya yang belum pulih benar. Narend lebih memilih merepotkan keluarganya sendiri dari pada orang lain, meskipun, Narend tidak menganggap mereka orang lain. Hey, mereka sudah tinggal bersama bertahun - tahun, tapi tetap saja Narend merasa tidak enak. Sesekali teman - temannya datang menjenguk ke rumah, bahkan menginap dan rela tidur berdesak - desakan di kamar Narend yang tidak begitu luas.

Hari itu, giliran Fazka yang datang mengunjunginya. Narend yang sedang duduk di teras rumahnya tersenyum saat melihat Fazka turun dari mobil. Dengan sedikit pincang Narend menghampiri Fazka.

"Kamu nggak usah repot - repot nyambut abang kayak gini." Fazka sedikit khawatir melihat Narend yang masih pincang.

"Kalau cuma begini aja bisa bang, jangan perlakuin Narend kayak orang cacat."

Entah, sekarang, kata - kata yang diucapkan Narend terdengar terlalu kasar dan dingin meskipun wajahnya menampilkan senyuman, yang Fazka tahu itu senyum palsu.

"Om sama tante kemana ?" Fazka mengalihkan pembicaraan, merangkul Narend masuk ke dalam.

"Lagi pergi. "Jawab Narend singkat dan beralih ke dapur. "Abang mau minum apa ?" Tanya Narend sambil membuka kulkas.

"Hmmm, apa ya." Fazka berpikir sebentar sebelum menyusul Narend ke dapur.

"Susu kotak rasa cokelat ?" Narend mengangkat sebuah susu kotak dengan rasa cokelat. Fazka tersenyum seraya mengangguk.

"Kamu masih ingat kesukaan abang." Fazka mengambil susu kotak yang disodorkan Narend padanya.

Narend tersenyum kecil, dia sendiri memilih mengambil kaleng soda dari dalam kulkasnya. "Karena abang nggak pernah berubah." Jawab Narend.

"Tapi kamu yang berubah rend." gumaman Fazka tentu saja di dengar oleh Narend.

Narend menghela nafas, "Semua orang berhak memilih untuk  berubah atau nggak kan ?"

Fazka duduk di bangku pantry, menatap Narend yang sedang membuka kaleng sodanya. "Tapi kamu nggak seharusnya berubah kayak gini rend."

Narend tahu, dia berubah, tentu saja, dia mengenal dirinya sendiri, Narend yang dulu selalu ceria dan tertawa, sekarang berubah jadi Narend yang pendiam dan hanya mengulas senyum tipis, itupun sebuah senyum palsu, seakan kebahagiaan sudah lama hilang dari hidupnya meskipun teman - temannya berusaha mengembalikan kebahagiaan itu lagi pada Narend.

"Narend harus berubah bang, dan abang nggak punya hak untuk ngelarang Narend berubah atau enggak."

Fazka terdiam, wajahnya menampakan raut wajah kecewa, Narend benar, dia tidak punya hak. Memang siapa dirinya ?

"Maaf bang, Narend nggak bermaksud -" Narend tahu yang dia katakan terlalu kasar.

Fazka menggeleng, "Kamu benar, abang emang nggak punya hak buat mengatur kamu mau berubah atau enggak." Fazka bangkit dari bangku yang di dudukinya, mengambil tas dokternya. "Abang pulang dulu, sampaikan salam abang buat ayah dan ibu kamu." Fazka mengusap rambut Narend singkat, dan meninggalkan rumah itu.

***

Lagi, Narend berada di dalam kamar itu, kamar Mada. Entah saat pulang ke rumah orang tuanya, atau saat berada di rumah yang mereka tinggali bersama, Narend selalu datang ke kamar Mada. Kadang membuat hatinya sakit kadang membuat rindunya bertambah.

Our Path : Sibling  ✔Where stories live. Discover now