3. Irelevan

3.1K 651 253
                                    


Bayang-bayang wajah orang tuanya berusaha Seongwoo pertahankan hingga ia mati digulung air beku Sungai Han nanti. Seongwoo rindu rasanya tertawa bahagia. Ia sudah tidak sabar untuk berkumpul lagi, mengembalikan fragmen yang menampilkan rentetan adegan kehidupan keluarga indah yang begitu ia banggakan dulu. Serta jika ada kesempatan untuk berhadapan dengan Tuhan, Seongwoo ingin berbicara empat mata; mengapa, dan untuk apa Tuhan mempermainkan kehidupan keluarganya sampai separah ini.


'Ayah, ibu, Jihoon sayang, maaf ya.'


Air mata yang jatuh adalah seutas selamat tinggal terakhir dari Ong Seongwoo.




Satu langkah kakinya menjamah udara dingin, dan tubuhnya sekaligus tubuh Jihoon bersiap untuk terhempas bebas menuju arus beku yang gelap tanpa dasar di bawah sana.  



* * *


"Bajingan, kau, kau, brengsek macam apa yang mengacaukan semua ini...?"

– Ong Seongwoo


* * *



Tersimpan beberapa kejengkelan dalam perasaan Daniel. Fuh, persetan. Sebenarnya ini murni bukan kesalahannya; catatan, dari sudut pemikiran Daniel.

Semua berawal dari sarapan pagi bersama orang tua dan kakaknya.

Meja makan keluarga yang terhormat memang selalu sakral sepanjang masa. Tapi di pertengahan, bahasan yang mengalir di tengah ritual pagi sehari-hari yang mewah itu berubah memuakkan saat kakak laki-lakinya mengatakan sesuatu.


"Ng, Daniel, kalau siang ini kau pergi lagi, boleh nanti malam aku menginap di apartemenmu? Aku masih merindukanmu."


Masih jelas dalam ingatan Daniel ketika telinganya memerah karena mati-matian menahan untuk tidak memaki. Gila. Memangnya Jisung itu siapa?

Demi kakek moyangnya, Daniel tidak pernah sama sekali mengizinkan seonggok-Jisung-yang-tersayang itu menginjakkan kaki di apartemennya barang sedetik. Ketika berkumpul bersama, bahkan Daniel jengah jika harus dipaksa untuk terlibat interaksi dengan Jisung.

Bencinya kesumat.

Tidak bisakah mereka membiarkan Daniel untuk sendiri? Ayahnya memang sudah tidak mengusik kehidupannya–lebih tepatnya beliau sudah angkat tangan–secara lebih jauh. Tapi untuk ibu dan, ah, kakaknya yang satu ini, mereka selalu saja meracuni jalan pikiran Daniel agar ia mau kembali tinggal di rumah.

"Huh. Bodoh, bisa-bisanya kemarin sore aku kembali ke rumah..."

Faktualnya Daniel ingat saat kakak laki-lakinya itu menahan isakan ketika dia pergi meninggalkan meja makan tanpa jawaban. Daniel mengesahkan undang-undang bahwa seluruh penghuni langit dan bumi tidak diperkenankan protes jika ia melabeli Jisung sebagai lelaki tercengeng di dunia. Jisung hampir menangis, dan Daniel melihatnya, matanya pun dalam keadaan sehat. Yang tidak sehat mungkin jalan pikirnya. Sebenci itukah dia dengan keluarga? Dengan Jisung? Saat semua tersedia disana, Daniel justru membuangnya. Membuang kakak dan ibunya juga. Yap. Berilah Daniel predikat durhaka.

Beatitude [Ongniel]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora