Chapter-05: Harusnya Tak Pernah Tahu

8.4K 1.1K 166
                                    

1

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

1

Gue baru sadar, kalau semalam sebenarnya gue itu ngawur banget waktu jawab perminyakan atau pertambangan. Kenapa? Bukannya keduanya itu merupakan pekerjaan yang akan membuat gue jadi jarang di rumah? Pasti gue bakal lama-lama di rig, ngurus kilang, atau paling nggak misal gue jadinya di pertambangan gue bakal mencil di tempat jauh sambil ngawasin pegawai yang lagi gali tanah nyari, apa? Akik? Untung Ayah nggak komentar di sana, kalau iya gue bisa-bisa dipermalukan oleh dia.

Rea di sebelah gue lagi fokus baca buku referensi fisika yang bilingual. Gue cuma melirik dan kepala gue langsung terasa pening lihat deretan angka itu di waktu sepagi ini. Bayangin aja ya, sekarang itu bel jam pertama belum berbunyi, dan dia udah lagi sarapan buku fisika yang penjelasannya pakai dua bahasa! Yaa, di sini gue jadi tahu sih, kalau dia memang layak dapat posisi pertama, tapi masa iya? Sepagi ini?

Sedangkan di meja Louisa sudah ada tas biola, tapi orangnya nggak ada entah lagi pergi ke mana. Yang jelas dia datangnya lebih awal dari gue.

"Rea, kamu nggak ikut ekstrakurikuler?" tanya gue. Ini usaha gue supaya dia menutup buku dan ngobrol, soalnya kok mata gue berasa silau lihat halaman bukunya yang isinya angka dan bahasa asing. Gue bukannya benci fisika, tapi ini masih pagi banget, itu masalahnya buat gue.

Lalu dia menoleh, santai banget orangnya. "Ikut, kemarin gue juga kumpul."

"Ikut apa tuh?"

"Kalau nanti ada kumpul kimia, kemarin fisika. Ini makanya gue lagi rememorize aja biar nggak lupa-lupa banget sama materinya."

"Ha?" bukan main cewek ini. "Kemarin fisika?"

Dia mengangguk, "Iya."

"Dan sekarang kimia?" gue berusaha banget biar nggak kelihatan kaget.

"Iya. Untungnya besok biologi, jadi bisa lebih enteng kalau diakhiri mata pelajaran yang serame biologi. Gue suka sih sama biologi, jadi itung-itung buat penutup. Senin fisika, Selasa kimia, Rabu biologi."

Gue memandang dia sesaat, yakin banget kalau sebelah alis gue terangkat tinggi. "Nggak matematika sekalian?" gue berkata tanpa serius. Maksud gue, pliis, jangan sampai dia borong matematika juga.

"Nggak sih, kan gue di rumah ada les juga, matematika."

"Wow."

"Kenapa? Kaku banget ya kehidupan gue?"

"Ng-nggak, bukan gitu. Keren sih ... tapi kamu nggak merasa beban gitu. Jujur gue sih suka belajar, tapi nggak terjadwal begitu," gue tertawa kecil.

Lalu tanpa disangka dia menancapkan siku kirinya di meja dan menopang dagunya untuk melihat ke gue. Bertopang dagu dengan posisi paling indah! Dia menghela napas. "Gue udah menikmati sih. Jadi mungkin yang baru tahu kalau gue kayak gini ya ngerasa aneh. Tapi gue nggak sekaku itu juga. Kayak kamu yang suka musik dan selalu punya waktu buat memainkannya. Begitupun gue, yang suka menghabiskan waktu buat belajar. Gue mainnya kalau malam."

THE CRITICAL MELODY [Sudah Dibukukan]Where stories live. Discover now