Bab Dua Puluh Tiga - Gava dan Adel

6K 286 25
                                    

Lambat-lambat, mata Gava mencoba menyesuaikan cahaya di sekitarnya. Dinding hitam-putih menyambut penglihatan pertama Gava setelah dirinya merasa tertidur sangat lama. Kemudian manik tajam sekaligus lembut itu mencari-cari sesuatu di sekitarnya, entah apa itu. Perempuan yang identitasnya benar-benar Gava ketahui tertangkap jelas oleh matanya. Dengkuran halus mengiringi setiap dadanya naik-turun.

Tidur, sofa, perempuan, selimut.

Oh, Gava ingat sekarang!

"Adel."

Nama perempuan itu ia sebut. Tangan kanan Gava terangkat untuk mengelus puncak kepala perempuan lemah di sampingnya pelan sedangkan tangan kirinya tertahan karena pundaknya dibuat senderan untuk tidur Adel. Lama ia menatap wajah Adel yang tertidur. Lama juga ia merasakan jantungnya terpompa cepat.

"Masih pagi udah deg-degan aja, gila!"

Yah... dan pada akhirnya, Daffa kalah telak dan Gava pemenangnya. Laki-laki itu berhasil mewujudkan satu dari sejuta banyak mimpinya; membuat dirinya sendiri bisa menjadi pundak untuk Adel. Gava sudah mengatakannya hari itu, dan kini ia mewujudkannya. Penuh kejutan, itulah gambaran Gava tentang pencapaiannya. Laki-laki itu tak tahu pasti apa alasan Adel memanggil namanya dalam isakan, apa alasan Adel memutuskan hubungannya dengan Daffa, dan apa alasannya Gava ikut menangis sambil merengkuh tubuh Adel semalam.

Sebuah erangan kecil membuat Gava terjaga, takut Adel kenapa-kenapa, padahal itu hanyalah erangan biasa orang yang baru bangun tidur. Ketika Adel membuka matanya dan langsung kontak mata dengan Gava, laki-laki itu tersenyum begitu riang, "Hai!"

Gava memaklumi kalau Adel sekarang sedang menjauhinya sambil menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya. Ah, sepertinya Adel masih harus menyatukan fragment-fragment di sekitarnya sehingga menjadi satu fakta.

"Tenang, tenang! Ini aku, Gava."

"Lo-lo ngapain gue?"

Gava tertawa.

"Coba kamu inget lagi. Bukannya kamu yang minta aku buat ke apartemen ini?-" Gava mendekatkan dirinya sebelum melanjutkan perkataan, "Apa kamu lupa kalau kamu nangis sambil meluk aku semalam? Gara-gara kamu, liat nih!"

Gava menunjuk ke arah matanya, lebih tepat ke arah kantong mata yang besar dan matanya yang memerah akibat semalam. Adel malah mengedipkan matanya berulang kali, masih mencoba mengingat. Kini Adel menatap sekitarnya, barulah mata kecil itu terbelalak.

"Astaga!" Ia menepuk jidatnya malu. Gava lagi-lagi tertawa.

"Udah inget?" tanya Gava jahil dengan menaikkan kedua alis. Adel pura-pura cemberut ditanya seperti itu, kemudian melempar selimutnya ke lantai.

"Aku pikir, kamu berbuat sesuatu gitu."

"Ngh, kamu berpikiran kotor, Adel."

'Sialan!'

Adel melempar apapun yang ada di sofa, bahkan handphone-nya. Gava tertawa hampir menjerit karena kesakitan dicubit Adel sekarang.

"Lo sama Daffa sama aja! Sama-sama mesum, jail, ngeselin!" Adel terus-terusan memukul lengan kiri pemuda di hadapannya, yang makin lama pukulannya makin melemah. Hingga Gava sadar kalau gadis itu telah mengeluarkan air matanya yang sekarang mengambang dan hendak terjatuh.

"Hm, kok nangis? Nggak boleh cengeng. Kamu pikir, cowok yang bisa bikin kamu bahagia cuma dia? Aku juga bisa bikin kamu bahagia, kalau kamu izinin," kata Gava dengan tangan yang menghapus beningan air tersebut. Adel membuka mulut, ingin berkata namun mulutnya terkatup kembali.

"Aku nggak maksa kamu buat jadi pacar. Tapi aku cuma mau kamu kasih izin ke aku, biar aku bisa bikin kamu bahagia."

Itu kalimat yang membuat pertahanan Adel runtuh menjadi kepingan kecil. Adel melingkarkan tangannya di pinggang Gava, menenggelamkan wajahnya di dada bidangnya.

Adel tak tahu harus berkata apa. Intinya, ada sesuatu yang meledak di dadanya. Dibarengi sebuah rasa sakit hati.

***

"Adel nggak akan pulang."

Perempuan cantik itu kini terlihat berantakan di depan pujaan hatinya. Tangannya terus menahan Daffa yang mencoba lepas. Tak peduli seberapa pucat wajah laki-laki tersebut, Reysa tetap menahannya.

"Aku sengaja, Daf. Aku sengaja berbuat kayak gini biar kalian putus. Aku mau kita balik kayak dulu. Aku nggak mau kamu jatuh sama dia. Sekarang, buat apa kamu ngejar dia yang bahkan udah benci banget sama kamu?!" Reysa berbicara dengan napas yang tak teratur, sedangkan Daffa sudah kehabisan kata-kata untuk memarahi gadis itu.

Tak ada lagi kesempatan baginya. Adel sudah berbicara telak pada Daffa tentang hubungan mereka. Untuk sekarang, memandang wajah Reysa sama saja memandang dirinya yang penuh luka dan kebimbangan. Berantakan, wajah yang sangat ingin menangis, dan semua perjuangan yang sedikit lagi akan berakhir.

"Kalaupun dia benci, izinin gue buat minta maaf dulu sama dia," lirih Daffa sekali lagi mencoba lepas.

Suara deru mesin mobil menengahi. Daffa tahu pasti itu mobil orang tuanya. Secepat kilat, Reysa menarik kembali tangannya lalu mengurus dirinya sendiri yang terlihat berantakan. Gadis itu pandai berakting, kalian tahu itu. Sudah pastilah sifatnya akan berubah di depan orang tua Daffa.

"Tante!" Wajah riang dari Reysa ditujukan untuk menyambut Ibunda Daffa yang keluar dari mobil lebih dulu. Bukan respon hangat yang Reysa dapat, melainkan dahi yang mengerut di wajah wanita paruh baya itu. Baik Reysa maupun Daffa bingung akan reaksinya.

"Kamu ngapain di sini, Rey?"

Dulu, Ibunda Daffa kenal Reysa dekat, mungkinlah ia masih kenal dengan Reysa. Namun tidak dengan pandangannya yang berbeda.

"Oh, maaf. Saya pikir Daffa udah punya pacar baru, makanya saya kaget ngeliat kamu pegang-pegang lengan anak saya tadi. Mungkin saya salah, ternyata Daffa belum bisa lepas dari kamu, Rey."

Telak. Reysa merasa terbang lalu dihempaskan berkali-kali ke tanah tajam. Nada bicara dari Ibunda Daffa terdengar begitu ramah dengan iringan tawa yang khas. Tapi kalimat demi kalimat yang dikeluarkannya membuat Daffa dan Reysa mati rasa.

Simpelnya, Daffa dan Reysa merasa kalau itu adalah sebuah peringatan, bukan lelucon dari seorang Ibunda.

"Permisi."

Bahkan, Ibunda Daffa tak sedikitpun memandang Daffa. Dari sorot matanya terpampang rasa kecewa.

Daffa pikir, belakangan ini Ibunda-nya tak mengetahui dengan siapa Daffa dekat. Kini semua fakta yang ia buat itu lenyap diiringi geraman tertahan Reysa. Hancur sudah nama baiknya, hancur sudah kehidupannya. Manik hitam itu sekarang memandang Reysa dengan tatapan membunuh, mengancam keberadaan gadis itu.

"Apa? Mau marah?" Reysa malah menantang. Pipinya memerah akibat marah dan malu sekaligus.

"Pergi sana!"

Reysa menganga tak percaya, hendak membalas ucapan Daffa. Baru mulutnya terbuka untuk membalas, Daffa lebih dulu menyela.

"Lo nggak beda jauh sama pelacur di luar sana!"

Nada penuh kemarahan, penuh penyesalan, penuh kebencian. Reysa tak mempercayai Daffa dan dirinya yang tengah mulai menangis. Bagai belati yang menyayat.

Reysa mengambil tasnya di kursi, kemudian pergi setelah meninggalkan kata-kata, "Aku cuma mau bahagia sama kamu, dan pada nyatanya, kamu nggak beda jauh sama iblis!"

TBC

Bagaimana untuk part ini? Semoga kalian suka❤

Mengharapkan dukungan kalian atas cerita ini, thanks buat yang udah baca. Tenang, beberapa part lagi ending kok.

Hayooo, kalian #teamDaffAdel atau #teamGavAdel ?
Atau jangan-jangan kalian #teamDaffaReysa ?

From Daffa To Adel [Completed]Where stories live. Discover now