Pembunuhan Tahun Baru - 3

1.5K 162 4
                                    

|Interogasi|


Setelah memeriksa semua ruangan tempat ditemukannya korban pembunuhan yang ternyata merupakan salah satu penulis novel best seller di negeri ini, kami berdua merapat ke tempat keberadaan Inspektur bertubuh gendut yang tak salah bernama Bram.

Inspektur itu sepertinya hendak memulai acara interogasi kepada rekan korban. Ada tiga orang yang patut dicurigai menurutnya. Orang pertama yang ditanyai oleh Inspektur adalah Ryan, yang merupakan rekan korban.

Aku dan Edo diberi kursi khusus untuk ikut menyimak acara interogasi itu.

Inspektur membuka percakapan. "Apa anda yang bernama Tuan Ryan?"

Pria itu mengangguk mantap.

"Seberapa jauh anda mengenal korban?"

"Sudah hampir lima tahun aku mengenalnya, dan kebetulan malam ini kami merayakan acara tahun baru di apartemennya yang mewah."

Edo kemudian menyela. "Inspektur, bagaimana menurut pemeriksaan dokter? Maksudku, korban dinyatakan tewas antara jam berapa sampai jam berapa?"

Inspektur itu menoleh ke tempat duduk Edo. "Kata dokter, sekitar jam dua belas sampai setengah satu."

"Oh, terima kasih." Edo kembali menyandarkan tubuhnya.

Inspektur melanjutkan lagi. "Baiklah. Kapan terakhir kali anda melihat korban hidup?"

"Sebelum aku keluar untuk melihat kembang api. Sekitar pukul setengah sebelas."

"Apa benar anda orang pertama yang menemukan korban terbunuh?"

"Ya, sangat menggerikan, dan sangat tidak masuk akal, padahal tadi dia sehat-sehat saja, dan lagipula, dia juga sepertinya tidak punya musuh sama sekali di luar."

"Anda yakin kalau dia tidak punya musuh?" Inspektur menatapnya tajam.

Pria itu mengangguk. "Ya, aku yakin sekali. Dia orang yang baik-baik saja. Ini mungkin kasus perampokan. Aku yakin itu."

"Jam berapa anda menemukan tubuh korban?"

Dia berpikir sebentar, lalu berkata. "Sekitar satu kurang seperempat."

"Apa sewaktu anda keluar dari apartemen itu, korban di dalam sendirian?"

"Ya, dia sendirian. Temanku, Anton sudah keluar lebih dulu. Katanya, dia hendak mengambil beberapa foto untuk dokumentasinya."

"Apa anda kenal orang yang berkumis tipis itu? Katanya dia sempat datang dan bercakap-cakap dengan korban." Inspektur menunjuk ke luar, ke sosok seorang pria yang tidak terlalu tua, kumisnya memang tipis.

Pria yang duduk berhadapan dengan Inspektur mengangguk. "Ya, dia memang sering datang untuk menemui korban."

"Dalam urusan apa?"

"Naskah. Pria itu merupakan salah satu orang suruhan dari penerbit mayor, dan tugasnya untuk mengecek naskah Moji. Anda tahu kan, kalau Moji merupakan salah satu novelis yang akhir-akhir ini namanya cukup melejit."

"Ah, ya, aku tahu novelnya yang best seller itu," Aku memotong. "Kalau tidak salah judulnya, Pesan dalam Botol."

"Nah, tepat sekali." Pria itu mengacungkan jempol padaku.

Inspektur itu tampak tak tertarik dengan pembahasan masalah novel, dia kemudian mempersilahkan pria itu untuk keluar, dan giliran Anton yang diinterogasi.

Anton membuka pintu, dan dia nampak sedikit terkejut saat melihat kami berdua duduk disebelah Inspektur.

"Kalian...?" katanya.

"Ya." Edo tersenyum simpul kepadanya.

Anton kemudian menarik kursi, dan duduk menghadap Inspektur dengan sikap yang cukup tegang.

"Anda yang bernama Tuan Anton?" tanya Inspektur.

Anton mengangguk.

"Kapan terakhir kali anda melihat korban hidup?"

"Ah, jam setengah dua belas kalau tidak salah, pokoknya sebelum aku keluar."

"Bukankah anda keluar jam setengah sebelas, sebelum Tuan Ryan keluar?"

"Ah, memang, tapi aku kembali lagi untuk mengambil rokok yang tertinggal."

"Lalu, kapan anda keluar lagi?"

"Jam setengah dua belas."

"Apa anda mengenal pria berkumis itu?"

Anton menoleh sekilas ke belakang. "Oh, itu, ya, aku kenal. Dia seorang yang bekerja untuk salah satu penerbit mayor."

Inspektur itu menyandarkan tubuhnya, kemudian dia mempersilahkan Anton untuk keluar karena bingung mau menanyakan hal apa lagi.

Pasien selanjutnya adalah salah seorang pria berkumis tipis yang bekerja di salah satu penerbit mayor. Dia bernama Hendra. Usianya kira-kira empat puluhan. Tubuhnya agak kurus, rambutnya hitam, dan cara bicaranya santai tak tertekan sama sekali.

"Apakah benar anda bekerja di salah satu penerbit buku?"

Pria berkumis tipis itu mengangguk sambil melempar senyum.

"Kapan anda datang ke apartemen ini?"

"Jam setengah dua belas, waktu itu aku berpapasan dengan Anton yang hendak menikmati malam tahun baru di luar."

"Apa waktu itu korban masih baik-baik saja?"

"Ya, dia masih sehat. Sangat sehat sekali. Bahkan dia sangat bersemangat membahas masalah naskah barunya denganku."

"Berapa lama anda berbincang dengan korban?" Inspektur menatapnya ganjil.

"Sekitar lima belas menit saja. Kira-kira jam dua belas kurang lima menitlah aku keluar, karena pada waktu itu kebetulan saat aku berjalan keluar, kembang api mulai diledakan."

"Hmm, begitu ya." Inspektur tampak merenung. Wajahnya mengekspresikan kebingungan yang hebat.

Setelah pasien ketiga sekaligus tersangka terakhir yang dimintai keterangan oleh Inspektur itu, kami pun mulai berdiskusi. Edo sudah duduk berhadapan dengan Inspektur dengan sikap yang sangat menarik.

"Bagaimana menurutmu, Edo?" Inspektur bertanya, tatapan matanya masih menerawang tak jelas.

Edo berdehem. "Sangat menarik. Jadi, mereka bertiga tidak memiliki alibi yang kuat. Bisa saja salah satu dari mereka balik lagi dan menembak korban, bukan?"

"Tapi menurutku," selaku. "Tuan Anton mempunyai alibi yang paling kuat."

"Betul sekali," Edo memotong. "Dia berada di luar saat perayaan tahun baru tadi, dan kami mengambilkan beberapa foto untuknya."

"Foto?" Inspektur menatap Edo tertarik.

"Ya, yang berarti hanya dua orang saja yang tidak mempunyai alibi kuat."

Kami pun mengangguk serempak.

(Bersambung)

Teror Villa BerhantuOnde as histórias ganham vida. Descobre agora