04

11 3 0
                                    


"Jangan terlalu dekat ataupun terlibat dengannya."



Sudah semingu berlalu, tapi tetap saja kata-kata Valen terus saja berputar di kepala Ryan. Kata-kata yang seolah-olah menjadi peringatan agar tidak ada satupun yang mendekati Sarah.

Apa gadis itu terlalu berbahaya? Apa dia pernah melakukan kesalahan?

Puk!

Ryan memutar kepalanya, melihat siapa yang sudah seenak jidatnya menimpuk kepalanya yang berharga –oke, itu berlebihan.

Yah, siapa lagi kalau bukan Valen?

"Sedang memikirkan sesuatu?" tanya lelaki ber-hoodie itu.

Senyuman tipis terukir di bibir Ryan. "Satu-dua hal yang seharusnya sudah kau ketahui."

"Sarah lagi?"

"Psst!" Cepat-cepat Ryan menatap Valen tajam dan memberi isyarat untuk diam. Matanya melirik ke arah lain di mana si objek pembicaraan berada. "Bagaimana kalau dia dengar?"

Sepasang manik kuning keemasan di sana mengikuti arah pandang Ryan, wajahnya terlihat santai seolah tidak ada hal serius yang terjadi. "Kurasa kalau dia dengar sekalipun, dia tidak akan peduli," celetuknya.

"Ikut aku."

Tanpa ba-bi-bu, Ryan menarik tangan Valen dan membawanya keluar kelas, mencegah kata-kata aneh keluar yang nantinya semakin membuat keadaan tidak nyaman.

"Oi, kau mau membawaku ke mana?"

"Kantin. Kau harus bertanggung jawab. Kata-katamu membuatku penasaran dan rasa penasaran membuatku semakin cepat lapar."

Valen berkedip bingung beberapa kali. "Bilang saja kalau kau sedang lapar, bocah."

***

Di sinilah mereka. Kantin sekolah yang menghadap langsung ke arah halaman belakang, tempat di mana beberapa murid melakukan hal-hal santai di antara jam pelajaran.

Ada yang bermain bola, diskusi klub kegemaran, atau ada juga yang sekadar duduk santai melepas penat.

Ryan memandangi murid-murid di halaman dengan mulut yang sibuk menyantap semangkuk mie kuahnya dengan ganas. "Benar-benar. Sebenarnya ada apa dengan gadis itu? Kenapa sikapnya begitu? Kenapa dia sangat suka sendirian sih?"

Sesuap nasi goreng yang semula siap masuk ke mulut Valen, terhenti di udara sejak teman baru di hadapannya terus saja mengoceh dengan mulut penuh. "Habiskan dulu yang ada di mulutmu, baru bicara. Menjijikkan tau?"

Telapak tangan si lelaki bersurai biru gelap itu tergerak menyeka sekitar mulutnya, mengelap beberapa cipratan kuah di sana. "Maaf. Aku hanya kesal."

Sesaat, kantin yang begitu ramai tiba-tiba saja hening dan digantikan dengan suara bisik-bisik di seluruh sisinya.

Ah, suasana ini sudah dikenali Ryan semenjak seminggu terakhir. Tanpa komando, seluruh pandangan langsung mengarah ke arah pintu masuk kantin, termasuk Ryan dan Valen.

Benar saja, Sarah sedang berjalan melewati pintu masuk kantin dan terus melangkahkan kaki menuju halaman belakang sekolah, diiringi dengan puluhan pasang mata yang menatap aneh ke arahnya. Tapi, tetap saja seperti biasanya. Gadis berambut keperakkan itu sama sekali tidak terganggu atas apa yang orang-orang lakukan terhadapnya.

"Oi Sarah!"

Valen menatap tajam ke arah Ryan, "Ryan, jangan coba-coba–"

"Kemari. Masih ada tempat kosong disini."

[✓] PREVIEW: Cold Wind (Alpha Ver.)Where stories live. Discover now