Zahra bangkit dari tempat tidurnya dengan sempoyongan. Susah payah dia berjalan dari ranjangnya sampai ke toilet di dalam kamarnya, lalu melihat dirinya dalam pantulan cermin yang mengenaskan.
Wajah putihnya memerah, matanya sembab, rambutnya tidak beraturan, dan suhu tubuhnya meningkat.
Tangannya bergerak memegang keningnya sendiri. Dan ya, Zahra demam pagi ini.
Tapi Zahra tidak bisa menuruti keinginannya yang sebenarnya masih ingin memejamkan mata, berbaring di ranjangnya sampai kondisinya sedikit membaik.
Zahra terbangun karna kaget handphone nya berbunyi. Fanny meneleponnya, juga ada 15 panggilan tidak terjawab dari staff kantor pusat di Jakarta.
Zahra menelepon balik mereka semua, dan masalah besar yang terjadi pada salah satu klien kami di Jogja harus segera Zahra atasi, dan hanya Zahra yang berwenang mengatasi ini.
Untuk itu dia bergegas mandi, tidak perduli suhu air pagi ini terasa lebih dingin dari biasanya, Zahra tetap memaksa tubuhnya menyentuh air dingin agar terasa sedikit segar.
Berpakaian dengan cepat, menyisir rambutnya asal lalu berlari menuju bawah.
"Loh, Ra. Sabtu gini mau ke kantor ?. Eh, kamu kenapa ? Kok pucat gitu ?" Bude menyapa Zahra di meja makan. Wajahnya panik melihat Zahra.
Dan tidak terlihat siapapun lagi dirumah ini, baik Pakde, Daffa, juga mas Danu.
Zahra mengangguk, menuang teh hangat yang ada di dalam teko di atas meja makan, lalu menenggaknya sampai tandas.
"Zahra nggak apa-apa, ini ada masalah di kantor makanya Zahra harus kesana." jelasnya, berharap penjelasan itu bisa membuat panik di wajah Bude hilang.
"Bude buatkan sarapan dulu, ya ?. Nasi gorengnya habis dimakan semua laki-laki." ucap Bude yang kemudian bangkit, tapi buru-buru di tahan tangan Zahra.
"Nggak usah Bude, Zahra buru-buru. Nanti aja sarapan di kantor. Zahra berangkat ya !."
Zahra sedikit berlari, memakai sepatunya yang tergeletak di samping pintu rumah, lalu kembali berjalan keluar.
Tetapi langkah Zahra terhenti di depan pagar rumah. Dihadapannya, ada mobil bercat hitam pekat yang terparkir, persis di depan rumah Fattan. Zahra mendekat, dan kaget melihat Fattan yang sedang menggendong Shanum sedang terburu-buru ingin masuk ke dalam mobil yang pintunya sudah terbuka.
"Kenapa mas ?." tanya Zahra, dia memberanikan diri untuk bertanya lebih dulu karna melihat kepanikan di wajah Fattan.
"Mau kerumah sakit. Dari semalam demamnya nggak turun. Maaf Zahra saya duluan ya." jawabnya cepat, menutup pintu dan dalam sekejap mobil yang membawanya menghilang dari pandangan Zahra.
Matanya mendadak perih, dia berlari menuju jalan raya, mencari ojek atau apapun yang bisa membuatnya cepat sampai dikantor, bekerja, dan tidak memikirkan dulu hal-hal lain yang akan berpotensi membuat kepalanya semakin sakit.
"Nanti saja, nanti... Dia pasti baik-baik saja." batin Zahra. Kepalanya menggeleng sekuat yang dia bisa untuk mengusir pikiran-pikirannya tentang kondisi Shanum.
Zahra sampai tidak perduli sedikitpun dengan tubuhnya. Dengan suhu badannya yang masih tinggi, dengan kepalanya yang makin berdenyut, dengan perutnya yang belum terisi apapun sejak pagi.
Yang dilakukannya begitu sampai dikantor adalah meminta semua berkas klien yang bermasalah pada Fanny yang sudah terlebih dulu sampai, mempelajari hal apa yang salah sampai membuat mereka marah, menelepon kantor pusat, kliennya, dan lain sebagainya sampai tidak terasa Zahra masih bekerja padahal sudah masuk jam makan siang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jogja, Cinta, dan Kamu
RomanceKabur ke kota yang selalu bisa membuatnya jatuh cinta mungkin cara yang terbaik untuk menghindari orang tuanya, yang terus saja memaksanya untuk menikah. Bukannya tidak mau, tapi usia 25 tahun bagi seorang wanita karir sepertinya bukanlah hal yang h...