Sebuah Kisah Dariku

48 2 0
                                    

Well, setidaknya bukan aku sendiri yang kebingungan.

Atau ... pantaskah aku merasa bingung?

Bertelanjang kaki saat menapaki tanah berhumus bukan lagi sebuah pilihan. Sandal dan kawan-kawannya bukan lagi kemewahan yang dapat di tawarkan dunia. Ilalang menyabet betisku yang tak tertutupi, angin-angin iseng menyapu rok terusanku hingga terkibar tinggi di atas lutut. Namun, di antara semua ketidaknyamanan itu, aku berhasil melihatnya.

Satu-satunya cowok linglung yang berdiri di padang itu. 

Rambutnya terkacaukan oleh angin dan ketempelan serbuk sari yang berterbangan dari bunga-bunga di sekelilingnya. Kerah kaus polonya tampak timpang, alhasil menampakkan tulang belikat pada tubuhnya yang kurus.

Aku terkikik saat melihatnya berputar-putar di tempat, mencari hal yang harusnya ia cari namun tak kunjung mendapatinya. Kuturunkan pandangan pada kedua kakinya yang telanjang, tercoreng lumbur dan terlilit ilalang. Aku tak bisa lebih bahagia lagi melihat orang berpenampilan sekacau itu.

Aku tak mengenal padang tempat kami berdiri, tentu saja. Bukan aku yang mengatur pertemuan ini. Mereka benar-benar merahasiakannya dariku sebelum akhirnya melemparku pada serumpun petak Dahlia, menyuguhi ladang bunga yang hanya mampu kulihat di brosur-brosul travel, dan menghadirkan cowok yang paling ingin kutemui.

Bukan hal buruk, sebenarnya. Karena asosiasi dari semua itu pada akhirnya membangkitkan kupu-kupu yang selama ini mati dalam tubuhku.

"Hei," Aku mengatakannya sambil berbisik--bahkan suara angin terdengar lebih nyaring. Namun, entah mengapa--dan aku merasa yakin, laki-laki itu bisa mendengarnya.

Dan benar saja, bahunya menjadi tegak seolah mendapat tepukan dari belakang, dengan cepat ia berbalik. Matanya melebar bersamaan dengan terciptanya kedutan pada mataku ketika aku menahan senyum. Salah satu kakinya tiba-tiba menjadi goyah ketika ia mencoba melangkah, untungnya tanah tampak kokoh di bawah pijakannya, hingga tak lama ia sudah berhasil menyeimbangkan posisinya. Rahangnya jatuh, sementara kedua tangan terangkat sejajar dengan wajahnya.

"Ini gila." Adalah kalimat pertamanya.

Aku sangat ingin mencekiknya.

Senyuman itu mengurungkan niatku. Meski aku ragu kakinya yang sekurus ranting bakal sanggup menopang tubuhnya selama berlari menghampiriku, namun laki-laki itu tetap melakukannya, dan berhasil. Dia bahkan tak tersengal saat berdiri di hadapanku, seringainya melebar.

"Aku menunggumu, tau."

Aku mendesah--yang membuatku sendiri bingung mengartikannya. Kesannya seperti desahan mendamba, namun juga seperti desahan jengkel terhadap anak kecil yang tidak mau menurut. Mata hitam jail itu membuatku memutuskan bahwa desahan kedualah yang mungkin paling tepat. Aku juga takkan mau mengakui dugaan yang pertama, karena yah, itu konyol.

"Apakah Tuan Puteri merasakan kaki-kakinya yang mulai pegal karena menunggu?" Cibirku.

"Tidak," dia tertawa. Tawa yang sedari dulu sangat cocok disandingkan oleh angin musim semi. Angin di antara kami. Tawanya membawa nuansa cerah meskipun pada dasarnya cuaca di tempat ini memang cerah--dan aku yakin akan terus begitu selama keabadian.

Aku bakal tenggelam dalam palung bebungaan yang diciptakan oleh tawanya andai ia tidak mengamit jariku, sedikit saja--cukup untuk sekedar menyadarkanku. "Namun Tuan Puteri nyaris tertidur karena kebosanan jika pangerannya tidak kunjung datang."

Kupu-kupu dalam diriku mengepak dengan lebih bersemangat. Namun aku membuat gestur muntah. "Jijik."

"Aku merindukanmu."

OLOK: Sebuah Kisah DarikuWhere stories live. Discover now