14

24.5K 2.8K 97
                                    

Setelah mencari lokasi yang strategis, Edwin mengangkat telepon dari kakek angkatnya, Prof Sumarto. Suara pria berusia 76 tahun itu terdengar riang.

"Halo, Edwin. Bagaimana tawaran kakek kemarin? Apa sudah kamu pikirkan?"

"Eh, iya. Kek ini masih saya pikirkan," jawab Edwin tergagap.

"Lama banget sih mikirnya," decak Prof Sumarto tidak sabar. "Ayolah, Win. Kalau begini kan kita bisa jadi keluarga sungguhan toh."

Edwin terdiam. Sebenarnya tawaran Prof Sumarto memang banyak benefitnya. Jika dia menjadi anggota keluarga Prawirohardjo, kredibilitasnya di hadapan investor dan kolega pasti meningkat. Karir juga jadi lebih mapan. Namun ada dua masalah yang problematik di sini. Pertama Sasa yang terlalu gila dan kedua dia tidak mungkin meninggalkan Siska.

"Aku tunggu jawabanmu hari Sabtu ini ya," ucap Prof Sumarto.

"Inggih, Kek."

"Ya sudah, kamu bisa lanjut kerja. Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam."

Setelah panggilan bosnya berakhir, Edwin hampir melangkah kembali ke tempat Siska, namun satu panggilan menghalanginya. Edwin melihat nama yang tertera pada display layarnya. Ternyata yang menghubunginya adalah polwan yang kemarin mengurus kasus Siska. Senyuman Edwin sedikit terkembang. Seperti ada perkembangan dari kasus ini. Dia sungguh berharap agar Siska segera berpisah dengan suaminya yang toksik itu.

"Ya, halo."

"Halo, Selamat siang Pak Edwin. Saya Ipda Yulia, masih ingat, kan?"

"Oh ya, tentu saya ingat," senyum Edwin. Apa orang-orang di kepolisian ini genit semua ya. Sasa juga sekarang jadi ganjen. Mungkin karena terlalu banyak berhubungan dengan kasus kriminal para polisi itu jadi kurang belaian.

Edwin masih merinding mengingat bagaimana ratu belatung itu memberikan kiss bye padanya. Padahal dulu zaman kuliah Sasa cukup normal. Kalau saja Edwin tidak mengenal Sasa, mungkin saja dia bakal langsung setuju saat dijodohkan. Sasa itu cantik, anak orang kaya, karirnya juga baik. Yang kurang hanya kepribadiannya saja yang terlalu ekstrim.

"Saya mau menginformasikan terkait perkembangan kasus dari Saudari Siska. Saya sudah menyampaikannya pada yang bersangkutan barusan, tapi saya ingat Pak Edwin juga minta dikabari kalau ada perkembangan kasus jadi saya meluangkan waktu juga untuk menghubungi Pak Edwin."

"Waduh, terima kasih banyak Bu Yulia."

"Aduh, jangan panggil Bu loh. Saya ini masih muda. Pak Edwin satu angkatan dengan Dokter Sasa, kan? Saya ini tiga tahun di bawahnya dan masih single."

Edwin meringis saja karena mendengar tambahan informasi yang tidak penting. "Jadi bagaimana perkembangan kasusnya, Ng... Ses Yulia?" Edwin berhenti sebentar sebelum menyebut nama lawan bicaranya. Habis dia bingung mau manggil apa. Walaupun Yulia lebih mudah dari dia kan nggak sopan kalau manggil "Dek" atau nama aja.

Suara tawa terdengar dari dalam ponselnya. Polwan itu lantas lanjut menjelaskan. Edwin mendengarkannya dengan dahi berkerut.

"Tidak mungkin!" sergahnya. "Bagaimana bisa perkembangan kasusnya jadi ke arah sana."

"Kami hanya mengikuti bukti yang ada Pak. Karena hasil visum dari Bu Siska demikian," dalih Yulia.

Edwin tercengang. Dia tidak tahu harus berkata apa. Bagaimana bisa hasilnya begitu? Edwin mengingat omongan Sasa kemarin. "Menurut pengalamanku paling cepat satu tahu. Bahkan bisa lebih."

Rasa curiga memenuhi kepala Edwin. Apa jangan-jangan Sasa sengaja mengeluarkan hasil visum yang menyudutkan Siska?

"Jadi kami menunggu Bu Siska untuk hadir kembali ke Mapolda untuk meminta keterangan lebih lanjut," tambah Ipda Yulia.

"Ah, baik terima kasih atas informasinya."

Panggilan Edwin dengan Ipda Yulia berakhir. Edwin masih terpaku. Yang ada dalam benaknya sekarang adalah menemui Sasa dengan segera.

***

Votes dan komen ya Guys.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
CEO Versus Dokter (Republish) Where stories live. Discover now