Part 11

114K 11.4K 1K
                                    

Lambaian tangan Kahfi begitu aku menyambutnya di pintu kedatangan membuat senyum manis terukir di wajahku. Dia terlihat jauh lebih segar. Sepertinya mama Kahfi hanya sedang rindu dengan putranya saja. Saat Kahfi di Semarang pun, kutanya ibunya sakit apa, dia jawab tidak sakit yang aneh-aneh,kok. Itu juga sebabnya di hari minggu yang sedikit mendung ini dia sudah bisa kembali ke Jakarta.

Kahfi mengacak-acak rambutku lalu merangkulkan lengannya ke bahuku. Tangan kirinya menggeret koper kecil. Kami melangkah menuju parkiran mobilku.

"Happy banget kayaknya, Pak," cetusku sambil jalan.

"Jelas, pertama, kayak yang kamu bilang, Mama cuma kangen aja sama anaknya. Kedua, sampai di Jakarta langsung dijemput Nyonya cantik," balasnya sambil nyengir.

Aku memutar bola mata, tetapi wajahku tak dapat bohong. Aku bahagia banget Kahfi bilang aku cantik. Entah kenapa, kalau Kahfi yang bilang, ungkapan cantik itu naik ke level yang lebih tinggi.

Lebay? Biarin, yang ngomong cowok gue juga.

Aku menekan kunci mobil. Kahfi memasukkan kopernya ke kursi belakang. Dia menuju bagian kemudi. Keningku mengkerut, tetapi aku menurut saja. Setelah menstarter mobil, Kahfi membawa mobilku meninggalkan parkiran Soekarno-Hatta.

"Sudah makan, Pak?" tanyaku saat mendapati jam di dasbor mobil yang menunjukkan pukul 2 siang.

Sebagai jawaban, Kahfi mengangguk. "Kamu?"

Aku menggeleng.

"Kenapa?"

"Belum laper aja," jawabku jujur. Emang aku belum laper. Kalau minggu gini, karena emang nggak ada kegiatan yang terlalu menguras tenaga, jam makanku akan mundur beberapa jam.

"Kamu harus makan. Kita singgah beli makanan untuk kamu, ya. Makannya di apartemen saya aja. Kamu nggak keberatan, kan?" tawarnya sambil melirikku.

Aku mengangguk saja. Lagian nggak ada gunanya mendebat Kahfi soal waktu makan. Dia teratur banget untuk yang satu itu.

Dia menghentikan mobilku di salah satu rumah makan yang tidak jauh dari apartemennya. Dia memesankanku dua porsi Soto. Katanya dia akan makan satu porsi untuk makan malam.

Begitu tiba di apartemennya, aku langsung menuju dapur, mengambil piring untuk makan siangku. Kahfi masuk kamar untuk meletakkan kopernya. Dia juga bilang mau ganti pakaian. Kahfi juga nggak terlalu suka berkeliaran dengan celana jins saat di dalam rumah.

Benar saja. Kahfi keluar dengan celana kargo warna abu-abu dan kaos hitam. Kacamatanya sudah dilepas. Dia mengambil tempat duduk di sofa, duduk di sebelahku yang kini tengah menikmati makan siang yang telat.

Kahfi menyalakan televisi, mencari-cari channel yang pas lalu berhenti di HBO. Film 500 Hundred Days of Summer sedang ditayangkan. Ada Mas Joseph Gordon Levitt aku disana. Kahfi juga tau kalau aku sangat terobsesi dengan pria dengan bibir tipis itu.

Sambil makan, aku menyusun kata-kata yang tepat untuk bertanya soal Sekar dan keluarganya. Aku kayaknya harus basa-basi tanya soal Mama Papa nya, deh.

"Papa nya Pak Kahfi sehat?" tanyaku mencoba mengalihkan perhatiannya dari tayangan di televisi.

Dia menoleh lalu tersenyum jail. "Mulai care sama calon mertua?"

Aku langsung meninju lengannya. Enak aja. Kapan juga aku setuju untuk jadi istrinya?

"Sehat, Alhamdulillah. Mama juga sehat, kok. Kemarin demam biasa. Papa aja yang berlebihan," jawabnya yang pandangannya kini terfokus ke arahku yang sedang menyantap Soto.

"Mungkin bukan cuma mamanya Bapak yang kangen, papa Bapak juga."

Dia mengangguk-angguk.

"Pak," panggilku saat melihat dia yang kini menyenderkan kepala dk punggung sofa. Makanku sudah habis.

Sorry Not SorryWhere stories live. Discover now