Dear, Hyung's - 3 ; Mark' Side

6.5K 1.3K 119
                                    

Aku tak bodoh hingga tak menyadari perubahan sifat kakak dan adikku. Taeyong hyung menjadi tertutup dan Jeno menjadi lebih pendiam setelah ayah dan ibu pergi. Padahal sifat mereka tak seperti itu sebelumnya. Taeyong hyung mempunyai sifat yang hangat, sedangkan Jeno, meski pemalu, dia benar-benar adik yang ceria.

Aku paham Taeyong hyung pasti benar-benar terpukul, Jeno juga seperti itu dan bahkan aku pun.

Tatapan Taeyong hyung selalu kosong saat menatap Jeno, aku tahu dia teringat pada ayah karena Jeno memang mempunyai wajah yang mirip sekali dengan ayah.

Hanya saja yang tak aku pahami, kenapa sikap Taeyong hyung harus seberubah itu pada Jeno? Apa karena ayah dan ibu kami melindunginya hingga menyebabkan mereka meninggal?

Dilihat dari segi manapun, menurutku Jeno tak salah. Ayah dan ibu hanya melindungi anaknya dari reruntuhan bangunan yang disebabkan oleh gempa beberapa tahun lalu.

Aku benar-benar tak suka Taeyong hyung bersikap seperti itu. Kenapa dirinya tak mencoba untuk bangkit? Sikap Taeyong hyung terlalu kejam, dan aku tahu Jeno selalu merasa bersalah karena itu.

Untuk Jeno, aku merasa ada yang tak beres dengan adikku. Kadang-kadang, dia terlihat pucat, kadang pula dia menatap kosong dan matanya selalu memandang sayu.

Aku selalu khawatir padanya karena kesehatannya yang menurun drastis sejak dua tahun lalu. Dia juga sering menghindar untuk makan bersama dengan seribu alasan.

Aku selalu mengecek kamarnya setiap malam, memastikan agar adikku tertidur dengan baik. Kadang kala, aku mendengarnya menggingau memanggil nama ayah dan ibu. Dia pasti bermimpi bertemu mereka.

Setiap Jeno menatapku sayu, aku merasa takut. Tatapannya seolah mengatakan bahwa dia akan pergi meninggalkan kami.

"Selamat pagi."

Aku berbinar melihat Jeno yang turun dengan tas sekolahnya.

"Sarapan bersama?" tanyaku penuh harap.

Jeno tersenyum dan mengangguk membuatku senang sekali. Terakhir kali kami sarapan bersama adalah tiga bulan yang lalu. Karena begitu semangat, aku mengambil roti dan mengoleskan selai cokelat kesukaannya.

Jeno mengerucutkan bibirnya. "Hyung, aku bukan anak kecil lagi."

Aku terkekeh mendengar gerutuannya. "Kau akan selalu menjadi anak kecil untukku, Jeno-ya."

Jeno mendengus seraya mengambil roti yang ku berikan padanya. Aku melirik Taeyong hyung yang memakan makanannya dengan lahap tanpa memperdulikan kami.

Aku menghela napasku pelan. Dia seperti itu lagi.

"Kau mau kemana?" tanyaku begitu melihat Jeno berdiri. "Perutku sakit," jawabnya sembari berlari ke kamar mandi.

Aku melirik roti yang kubuat untukknya belum tersentuh sama sekali. Apa dia salah makan semalam? Aku tak tahu karena aku sudah tertidur sebelum dia pulang dari rumah Jaemin.

"Hyung," panggilku yang di jawab Taeyong hyung dengan gumaman.

"Tolong jangan bersikap seperti itu lagi, bagaimanapun Jeno tetap adik kita. Ayah dan ibu meminta kita menjaganya," ucapku hati-hati.

Taeyong hyung menatapku datar. "Maksudmu?"

"Berhentilah bertingkah seperti Jeno adalah makhluk tak kasat mata. Aku tahu hyung masih belum menerima kepergian ayah dan ibu, tapi tak bisakah hyung memperlakukan dia seperti hyung memperlakukanku? Sikap hyung yang seperti itu akan membuat Jeno berpikir kalau itu salahnya."

Kulihat Taeyong hyung menghela napasnya pelan, lalu berdiri dari duduknya. "Makan makananmu. Hyung pergi dulu."

Kini giliran aku yang menghela napas. Dia begitu lagi. Reaksi kakakku selalu sama ketika aku menasehatinya. Dia selalu menghindar dan bersikap seperti tak mendengar apa pun, menyebalkan.

Aku melirik pintu kamar mandi. Biasanya, Jeno akan menyalakan keran air saat dirinya di kamar mandi, selama apa pun dia di dalam sana. Namun kini, aku hanya mendengar keran air menyala sesekali, seolah dia tengah mencuci sesuatu.

Aku mengetuk pintu kamar mandi pelan. "Jen, kau baik-baik saja?"

"Ah ya, aku baik-baik saja. Memangnya kenapa?"

Aku semakin bingung mendengar suaranya yang serak dan bergetar.

"Kau menangis?" tanyaku.

"Hah? Untuk apa aku menangis? Pergilah hyung, kau mengganggu kegiatanku."

Aku mendengus mendengar ucapannya. Aku mengetuk pintu dengan kuat. "Kau menyebalkan."

***

"Mark, apa Jeno baik-baik saja?"

Aku mengerutkan dahiku bingung mendengar Koeun bertanya seperti itu. "Maksudmu?"

"Kemarin aku melihatnya keluar dari rumah sakit," ucap Koeun yang membuat ingatanku melayang pada penjelasan Jeno tadi pagi.

"Ah, itu? Dia menjenguk temannya," jawabku.

Tatapanku teralih pada kelas adikku yang hanya berjarak beberapa meter dari tempatku berdiri. Jeno tengah berbicara dengan seorang gadis, sesekali dia tersenyum dan terkekeh. Tatapannya benar-benar hidup, tak seperti yang selalu kulihat dua tahun belakangan ini, hampa dan sayu.

"Sebentar, Eun."

Aku segera berjalan menghampiri gadis itu begitu Jeno berlalu.

"Permisi."

Gadis itu menoleh. "Mark Sunbae? ada apa?"

"Kau mengenalku?" tanyaku terkejut. Dia menganggukkan kepalanya dan tersenyum. "Siapa yang tak kenal ketua basket sekolah ini? Lagi pula sunbae kan kakaknya Jeno, jadi aku tahu."

Aku tersenyum mendengar jawabannya. Ku lirik name tag nya, Kim Sungkyung.

"Apa Jeno dekat denganmu?"

Dia mengangguk. "Akhir-akhir ini kami dekat karena berada di kelompok yang sama, Jeno juga sering membantuku jika aku kesulitan, dia lelaki yang baik."

Aku tersenyum mendengar pujian itu. "Baiklah, aku pergi dulu."

***

Aku membuka pintu kamar Jeno pelan dan berjalan masuk. Aku memeperhatikan kamarnya yang benar-benar rapi. Tak ada lagi barang-barang yang berserakan di atas meja belajarnya, padahal biasanya meja belajarnya selalu berantakan.

Mataku menangkap sebuah amplop berwarna biru di balik buku matematika nya. Pasti surat cinta lagi dari pengemarnya.

Aku menatap wajah tidur adikku, dahinya berkerut dan mulutnya tergerak mengucapkan sesuatu.

"Eomma... Appa... "

Jadi, dia bermimpi tentang ayah dan ibu lagi? Kenapa beberapa hari ini dia selalu bermimpi bertemu mereka?

10 Desember 2017.

Dear, Hyung's | 𝘓𝘦𝘦 𝘑𝘦𝘯𝘰 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang