BAB 7 Purnama

6.6K 498 58
                                    

Delapan hari sudah Sada tidak memberiku kabar. Delapan hari itu pula aku bertemankan sepi dalam kerinduan. Bertemankan pula kalut dalam kekhawatiran. Malamku gelap tanpa keindahan.

Mematung di depan komputer yang menunjukkan akun Facebook penyebar berita hoax terbaru. Benar-benar baru menerima laporan dari Staria soal akun Facebook yang satu ini. Menyebar berita hoax tentang pelecehan seksual yang dilakukan salah satu bakal calon Bupati Karanganyar. Heran dengan anak muda zaman sekarang, saking nganggurnya sampai punya waktu luang untuk mengurusi kehidupan orang lain. Kalau ikut ngurusinnya itu benar. Kalau tidak? Kan jadi berurusan dengan polisi macam ini.

Banyak sekali pelanggaran UU ITE yang dilakukan oleh satu akun milik pemuda berusia dua puluh tahun ini. Menghela napas berulang kali. Memang sekarang ini zamannya jari-jemarimu adalah harimaumu. Orang lebih pandai mengetik daripada berbicara. Pandai berbicara pun berbicara yang tidak penting, tidak berfaedah.

Bosan mengurusi sekian banyak akun yang melakukan pelanggaran. Kini aku beralih pada ponsel Android-ku yang terdiam. Sampai dingin begini karena kurang belaian.

Apa yang aku buka pertama kali saat memegang ponsel? Ya, chat-ku dengan Sada. Semua kata rinduku masih centang satu. Itu tandanya ponsel Sada masih belum aktif.

Menghela napas panjang, harus berapa lama lagi aku menunggu dia kembali? Minggu depan? Tahun depan? Atau seratus tahun lagi?

Mataku terbelalak ketika satu persatu pesan rinduku pada Sada berubah warna dan tanda. Yang tadinya centang satu menjadi centang dua, yang tadinya abu menjadi biru. Tulisan tanggal terakhir dilihat telah berubah menjadi online.

Sada sudah kembali? Benarkah? Dia selamat. Bagaimana kondisinya?

Bergegas aku memencet tombol telepon di pojok kanan atas. Terlambat karena tanganku sudah gemetar terlebih dahulu. Sada sudah lebih dahulu menelpon ku.

Sudah macam orang yang kesetanan, aku langsung mengangkat telepon dari Sada. Menghela napas terlebih dahulu kemudian bersiap untuk banyak pertanyaan dan pernyataan.

"Hallo, assalamualaikum, Sada. Apa kabar? Kondisi bagaimana? Tidak ada yang terluka kan? Aman kan, Da? Kamu sudah kembali ke tanah Jawa kan? Aku kangen banget." Berondongan pertanyaan sekaligus pernyataan bahwa aku merindukannya. Sangat merindukannya.

"Wa'alaikumsalam. Empat menit dua puluh detik lagi jam kerjamu selesai. Aku tunggu di depan kantor." Ucapnya kemudian telepon mati.

Senyum sumringahku langsung mengembang sempurna. Bersiap dengan banyaknya bar komputer yang terbuka. Klik Alt + F4 untuk semua menu yang terbuka. Masa bodoh Facebook belum di log out, Twitter juga sama. Siapa memangnya yang berani membobol.

"Dik Kanya, tolong habis ini ketemu sama IPDA Ksatria ya? Sepertinya ada beberapa akun yang pemiliknya harus menerima surat penangkapan." Seru Bapak Kepala Kominfo dari depan pintu ruangannya.

Terbelalak sempurna mataku ini. Ah, tapi aku bisa menggunakan alasan lain untuk menolak tugas itu. Kata orang-orang kantor, aku adalah anak emasnya Bapak Kepala Kominfo. Alasannya karena beliau mantan pacar Mama. Dunia sempit kan ya? Dimana-mana mantan pacar Mama. Sudah tiga orang kujumpai sebagai mantan pacar Mama. Setelah Ayah dari teman Paskibra-ku, pemilik warung mie ayam langgananku di dekat kantor itu juga mantan pacar Mama. Kayanya lebih banyak mantan pacar Mama daripada mantan pacar Papa.

"Aduh, Pak. Yang lain dulu ya, Pak? Arif, Pak. Dia sedang tidak ada kerjaan. Eka juga, Pak." Mengalihkan perintah pada orang lain. Eka dan Arif hanya saling menunjuk diri mereka masing-masing sambil memelototiku, beberapa inci lagi jatuh itu bola matanya.

Purnama (#2)Where stories live. Discover now