Chapter 2 : Kehidupan Langit

7.8K 401 6
                                    

2. Kehidupan Langit

        

        Langit menutup telinganya kuat-kuat menggunakan bantal guling, ketika ketukan pintu dan suara Ibu Pelangi membangunkannya. Sudah berkali-kali dia bilang pada wanita si pemilik anak buta itu, jika pagi tidak usah membangunkannya, tetapi masih saja melakukan hal itu. Langit membuka mata ketika suara itu terdengar kembali dan lebih lantang dari sebelumnya.

“Berisik! Gue mau tidur!” Teriaknya lalu menutup kembali matanya.

        Diluar, Ratih menghela nafas sabar. Beliau sudah biasa mendapat bentakan serta teriakan dari anak bungsu majikannya itu. Nasibnya tidak jauh dari Pelangi yang selalu di musuhi oleh Langit.

Ratih menggelengkan kepala dan berlalu untuk memberitahu kepada Subroto dan Santi bahwa anaknya tidak mau bangun. Padahal ini sudah jam setengah tujuh, waktunya sarapan lalu berangkat ke sekolah.

        “Maaf Tuan, Nyonya, Den Langitnya katanya masih mau tidur.” Jelas Ratih sesopan mungkin.

        Lala yang kini sedang menyantap sarapan, mendengar kabar adik pemalasnya itu segera beranjak dari duduknya. Dia berlalu begitu saja meninggalkan sarapan dan orangtuanya.

Lala merogoh saku jeansnya mengeluarkan kunci cadangan kamar Langit. Itu sudah di rencanakan olehnya, dia tahu pasti adiknya akan susah di bangunkan jika tidak dibangunkan olehnya atau Papanya. Mamanya saja kalah, hanya di bantah begitu saja.

        Membuka pintu kamar, pandangan pertama yang dilihat Lala adalah kamar Langit yang berantakan. Dia melangkah masuk dan menyerobot paksa bantal guling diatas kepala adiknya, membuang benda itu begitu saja. “Bangun!” Bentaknya.

        Tidak adalagi tidur tambahan jika Kakaknya ada dirumah. Dengan marah Langit beranjak dari tidurnya. Dia duduk di tepi tempat tidur sambil kedua tangannya menggaruk-garuk keras kepalanya. Beberapa detik kemudian, telinganya terasa perih karena kini Lala menarik daun telinga kanannya dan membawanya ke kamar mandi pribadi.

        “Mandi!” Bentak Lala lagi.

        “Iya-iya.” Jawab Langit pasrah, menutup pintu kamar mandi keras hingga menimbulkan suara.

        “Langit Abi Subagja!” Lala memanggil nama panjang adiknya lantang lalu keluar dari kamar jorok itu.

        Sudah mengenakan seragam olahraga sekolahannya, Langit duduk di meja makan bersebelahan dengan Lala. Dia melirik Ratih yang tengah sibuk di kompor gas, memaki wanita tua itu karena sudah mengadu pada kedua orangtuanya serta kakaknya. Lalu mengalihkan lirikannya pada Lala dan berakhir pada nasi goreng yang tersaji di meja makan. Segera Langit melahap sarapannya. Usai sarapan dia berpamitan pada semuanya kecuali Ratih.

        Ketika motor ninjanya di jalankan sengaja pelan, Langit tak sengaja melihat Pelangi sedang berdiri di depan pagar rumahnya yang hanya setinggi udel. Senyum miringnya terukir sambil menambahkan kecepatan motor. Sampai di depan perempuan itu, Langit berhenti dan menklaksoni dua kali. Dengan nakalnya, dia mengambil tongkat di genggaman Pelangi dan menjatuhkannya agak jauh dari jarak Pelangi berdiri.

         “Selamat mencari barang berhargamu, si buta!” Katanya lalu menjalankan motor.

        Pelangi yang diperlakukan seperti itu hanya menghela napas dan berjongkok untuk mencari keberadaan tongkat pemberian dari Subroto pada saat pertama kali Ibunya mulai bekerja dirumahnya.

Dia tidak habis fikir pada Langit yang selalu jahat padanya. Padahal Pelangi tidak pernah berbuat jahat pada laki-laki itu. Mengenai uang kembalian pembelian spidol itu, Pelangi tidak sadar bahwa saku roknya ternyata bolong. Ada kemungkinan bahwa sebagian uang kembalian bisa saja merosot jatuh.

Sightless Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang