Ruang Praktek dr. Jiyi Malika sp.Kj – Psikiatris.
"Apa kamu merasa ada yang salah dengan pola kamu dibesarkan?" tanya dr.Jiyi berusaha menggali informasi dari pasien yang sudah 3 kali menemuinya untuk konsultasi tersebut.
"Ibu saya sibuk. Tapi saya merasa ia masih memiliki waktu untuk saya. Mungkin memang saya lebih dekat dengan ayah saya. I look up to him. He's a great man. At least, he was a great man back then," ujar Carsten dengan nada terbata. Ia tidak biasa membuka dirinya terutama tentang apa yang ia rasakan ke orang lain. Namun rentetan mimpi buruk dan stress yang ia rasakan membuatnya tidak tahan lagi, hingga ia memutuskan untuk pergi ke psikiatris, sekedar untuk mengecek apakah kejiwaanya masih normal.
"Am I Crazy?" tanya Carsten pelan.
"No. You're not," jawab sang dokter dengan nada yakin. "Waktu kecil kamu lebih suka bercerita ke siapa?"
"Ayah saya. Saya merasa ibu saya selalu menuntut banyak, hanya karena ia tidak mau kalah dari temannya. She always compared me with her friend's son, which is also my best friend. Kenzie dapat nilai lebih bagus, Kenzie jago main piano, Kenzie dapat kuliah di PTN. Saya tumbuh dengan bayang-bayang bahwa ibu saya sendiri lebih bangga pada Kenzie daripada saya. Orangtua saya tidak pernah ada di saat saya mengikuti lomba-lomba. Saya merasa... tertinggal? Selalu dibandingkan."
"Kamu benci si Kenzie itu?"
Carsten menggeleng. "He's a good man. He's my best friend."
"Kamu benci ibu kamu?" dr. Jiyi meralat pertanyaanya.
Carsten sejenak ragu. "She's a controlling woman. I don't think that men should be controlled by women. But I never hate her. In some ways, she's a good mother with a huge devotion to raise her kids. Jeez, I'm still her son. I have an instinct to love and protect her. She's not a bad person, she's just trying too much. I think..."
"Kalau ayah kamu?"
"Dia salah. Perselingkuhan itu terlalu besar. He brought that bitch to our house." Carsten menggebrak meja yang ada di depannya. Namun di luar dugaannya, sang dokter tetap tenang dan tersenyum.
"Menurut kamu apakah sebaiknya orang tua kamu berpisah? Atau tetap bersama. Apakah mereka masih saling cinta?"
Carsten menggeleng dan menggenggam rambut kecoklatannya dengan penuh rasa frustasi. "Don't know..."
" I see. Kamu belum tau apa yang kamu mau. Satu hal yang saya penasaran. Kenapa kamu cerita ini ke saya? Kenapa kamu tidak cerita ke orang terdekat kamu?"
"Cause I came to you, and you asked question. No one else did that. No one truly cares. For them I'm just a guy for hang out with. We go to club, have fun, but yeah. It stops there."
"Punya sahabat kan? Si Kenzie?"
"Talking to him would just remind me of how mess my life is. He has everything that I didn't have. A caring family, a lovely girlfriend, friends that stick with him through good and bad times. I just can't told him."
"Kalau pacar? Teman wanita?"
"Kyana.." pikir Carsten dalam hati mengingat mantannya yang satu itu. "I just broke up with my girlfriend. I realized I didn't have 'that' special feeling for her. So, I dumped her."
"Perempuan lain? Mungkin bukan pacar. Perempuan di mimpi kamu?"
"She's the worst one," jawab Carsten ketika berbicara tentang Vonzell.
"Kadang-kadang orang yang kita hindari adalah orang yang paling kita butuhkan. Kamu tinggal harus berdamai dengan diri kamu sendiri, dengan kehidupan. Saya bantu resepkan obat apabila kamu susah tidur. Jangan jadikan kebiasaan. Obat tidak pernah jadi solusi. Cari orang yang nyaman untuk berbincang."

YOU ARE READING
Kenzie
Teen Fiction"Gue brengsek, dia juga brengsek. Tapi Yeezy gue asli, Yeezy dia KW. Mending lo sama gue aja, Mei!" Sangat sulit mencari kalimat yang dapat menggambarkan seorang Kenzie Rezkytama, anak bungsu dari seorang Millionaire Jakarta. Pria tampan dengan be...