anomali

336 37 9
                                    

Mereka bilang saya ini lembaran buku, sang pujangga, bahkan pembagi kisah dan seringkali meminta untuk bercerita. Apa saja, katanya, bakal lebih ramai lagi kalau berbicara mengenai cerita-cerita yang seharusnya tidak boleh diceritakan. Tentang luka yang perlu ditutup, atau barangkali goret masa lalu yang sudah lama dilupakan.

Oh, tentu saja, saya pikir menolak lebih baik. Katanya, kalau saya tak pernah mahir bercerita. Alih-alih mengerti, saya bisa memastikan wajah terbengong-bengong itu akan muncul. Saya tak pandai bertutur kata, jangankan begitu, menatap langsung lawan bicara saja rasanya berat sekali (apalagi lawan jenis, astaga, tak salah orang mengeluh dunia itu kejam) dan karena itu, orang sekitar lebih mengenal saya karena tulisan, atau pengkhayal ulung, atau lebih tak manusiawi lagi lembaran kertas kosong yang nantinya bakal diisi. (Diisi oleh apa? Ah, goresan perih itu, tentu saja.)

Tapi terkadang hidup memang berjalan ibarat sebilah pedang. Yang mana katanya jalani saja sebagaimana arus itu berjalan. Jalankan saja, sungguh, jalankan saja dan tak perlu berpikir bagaimana rasanya seperti ingin pergi, pergi, dan tak pernah kembali. Atau sekelebat pikiran saat mengenderai motor dan segala skenario penuh drama itu muncul; metal saling membentur keras, jeritan spontan, gesekan aspal dan decitan banーmenggesek, menggilas, melindas, lalu jatuh, jatuh, dan kilasan balik rekaman selama kau bernapas bermain secara acak. Dramatis, tapi paranoid itu tak ubahnya sel-sel kanker yang terus membesar.

Ada masa di mana kedua tangan rasanya gatal ingin membanting setir di antara padat khalayak umum, ke antara rerumputan atau semak berbatu, sekejapーpongーsalah-salah terjerumus jauh. Tapi batin suka sekali mendominasi; jangan, begitu sahutnya. Masih ada wajah-wajah yang perlu senyuman, atau paling tidak wajah ibu dan bapak. Wajah kawan, wajah keriput ketika tua nanti.

Suatu kali, pada masa itu pula, momentum lambat dalam bentuk potret sepia sekali kejap membayangi; lompat saja, ya, lompat saja dari ketinggian sini. Paling-paling nanti dianggap pengecut, apalagi untuk negara yang sukanya memaki dan mencaci (mental itu, kata mereka, cuma debu disapu angin). Halah, jangan pernah berharap simpati kalau tidak bisa melakukannya pada diri sendiri. Lagi pula, waktu adalah uang. Mana mau repot-repot mengurusi sampah tak penting.

(Dilema itu seperti ini; menyerah, salah, bertahan juga salah. Terserahlah.)

Pada akhirnya, toh, saya tetaplah anomali. Kalau ingin bertahan, harus terus menulis. Dan menulis. Dan menulis.

Dan menulis.

dari bait kecil ini, aku menulisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang