| ONE |

9.1K 616 34
                                    

Ruang auditorium 2F nyaris sepi pagi itu. Hanya ada beberapa kelas pagi yang sedang diselenggarakan di Gedung II kampus. Kelas Hinata baru saja selesai sekitar sepuluh menit yang lalu. Tapi ia masih betah menduduki kursinya, mengamati halaman demi halaman Vogue edisi Oktober. Ia melewati artikel gaya hidup dan asmara, berhenti sejenak di sebuah iklan minuman ringan, mengagumi teknik sempurna sang fotografer yang menciptakan hasil bidikan luar biasa. Ia melanjutkan dengan menekuri halaman busana. Artikelnya mengangkat tema musim dingin seperti yang sudah bisa ia duga. Ketika Hinata sampai pada artikel sosok dan tokoh inspiratif, Hinata mengubah posisi duduknya. Inilah alasan utamanya membeli majalah tebal, berat dan mahal itu: Yuuhi Kurenai. Paragraf-paragraf awalnya memperkenalkan siapa Kurenai di masa lalu, dilanjutkan dengan perjuangannya sebagai orangtua tunggal bagi anak perempuannya, dan karir gemilangnya yang diakui para kritikus dan perancang busana ternama dunia. Hati Hinata menggebu-gebu saat ia membaca bagian-bagian selanjutnya. Seakan-akan sebuah penawaran diserahkan pada Hinata. Sebuah pertanyaan muncul dalam benaknya, 'kau menginginkan ini juga untuk masa depanmu?'. Dan Hinata tahu pasti apa jawabannya.

Tepat ketika ia selesai dengan artikel yang membuatnya memikirkan cita-citanya, Tenten berlari masuk ke kelas. Dia seharusnya ada di kelas pagi juga bersama Hinata. Tapi sepertinya Tenten punya alasan lain kenapa ia tak menghadiri kelas pagi ini.

"Kau tak akan percaya ini," katanya. Dia melangkah lebar-lebar saat mendaki tangga auditorium. "Kau berhasil." Perempuan berambut cokelat itu melambaikan sehelai undangan di tangannya. "Kau berhasil!" serunya riang. Hinata tak bisa berkata-kata saat Tenten memeluk bahunya erat-erat. Wajah Tenten sumringah, matanya melebar seperti senyumnya yang mengembang pasti. Tenten meletakkan undangan itu di meja Hinata, di atas artikel yang masih terbuka. Nama Hinata tertulis di bagian depan amplop, beberapa stempel dari perusahaan pos internasional dan lokal bertebaran di sekitarnya. Masih disegel, dan itu membuat Hinata ragu.

"Bagaimana kau bisa yakin kalau aku berhasil?"

"Ini undangan, Hinata. Bukan surat penolakan."

"Bagaimana kau—"

"Mereka yang gagal dihubungi langsung oleh Lead & Leader. Apa kau menerima telepon dari perwakilan mereka?" Hinata belum sempat menjawab saat Tenten dengan yakin mengatakan, "Pasti tidak."

Hinata mengangguk.

"Nah, kan?"

"Ini berarti..."

"Ya!"

Hinata tersenyum, tertawa kecil dengan kedua alis mengernyit. Ia bahagia, terharu, dan tak bisa berkata-kata.

Sejak semalam Tenten mencaritahu soal hasil pengumuman penyeleksian di Lead & Leader yang diikuti Hinata dua bulan yang lalu. Produsen busana ternama asal Eropa itu membuka kesempatan bagi para perancang amatir untuk menyertakan desain mereka dalam sebuah kompetisi. Salah satu jurinya adalah Yuuhi Kurenai, yang memegang peranan penting dalam menilai rancangan-rancangan yang masuk. "Ayo cepat buka undangannya!" perintah Tenten tak sabar.

"O-oke." Tangan Hinata gemetaran, ujung-ujung jarinya seolah membeku. Degup jantungnya benar-benar liar, adrenalin mengalir deras.

Amplopnya dibuka perlahan, dan akhirnya dirobek saat Tenten tak bisa berhenti mengeluh dan memintanya untuk bergerak lebih cepat.

Hinata menemukan undangan berlapis warna merah yang mewah. Tintanya emas, membuatnya merasa dia baru saja menerima undangan dari seorang bangsawan. Pada kenyataannya lebih kurang sama, karena Yuuhi Kurenai adalah seorang ratu di dunia sepatu. Perancang sepatu paling digandrungi yang menjadi ikon fesyen para wanita muda mengundang Hinata ke Milan untuk belajar langsung darinya.

Hinata tak bisa menahan tangisnya, ia luar biasa bahagia.

Tenten memeluknya lagi, menepuk punggungnya lembut. "Kau berhasil. Kau berhasil, Hinata."

Darling YouDonde viven las historias. Descúbrelo ahora