The Eighth Night: Mirror

675 35 0
                                    

Seperti biasanya, tiap aku melewati sebuah kaca di rumah, aku pasti akan melakukan pose kekanakan dengan senyum bodoh. Iya, kalian tidak salah. Aku, gadis remaja 14 tahun terkadang masih suka melakukan hal kekanakan seperti itu.

Mungkin terbesit di benak kalian, narsisme. Sebenarnya tidak sepenuhnya salah. Aku sempat membaca artikel mengenai pubertas dan sering berkaca adalah salah satu perubahan yang dialami remaja. Dan kurasa narsisme ada kaitannya dengan itu. Namun sesungguhnya, jauh di dalam aku adalah salah satu gadis paling rendah diri yang pernah ada. Setidaknya itu anggapanku.

Di keadaan normal, saat berdiri di depan cermin aku akan berdiri tegak. Terkadang mencoba menjadi gadis anggun, gadis penuh sarkastik, sampai gadis biasa. Tapi di keadaan yang kurang baik, aku akan tersenyum dengan berbagai pemikiran negatif menghujam kepalaku.

Masalahnya, sekaranglah keadaan kurang baik itu.

Jika diingat, aku memiliki tubuh dengan tinggi sekitar 165 cm dengan berat badan 65 kg. Kurang ideal memang. Tapi aku tak begitu menghiraukan, bahkan di hari terburukku sekalipun.

Yah, tolong jangan percaya mengenai kalimat terakhirku tadi.

Sekali lagi kutatap bayangan diriku. Bibirku masih membentuk senyum yang sama. Kali ini pikiran negatif belum menyerbu. Mataku sedang meneliti tiap detail bagian wajah.

Jujur saja, sejak dulu aku tidak pernah merasa aku memiliki paras cantik. Yang kutanamkan pada diri hanya kata manis, bukan cantik. Karena toh jika diperhatikan memang begitulah adanya. Aku tidak cantik.

Mataku berwarna cokelat tua, nyaris hitam. Lalu hidungku ... menurut keluarga aku memiliki hidung papa. Mancung untuk standar orang Asia. Bibirku tidak merah seperti adikku. Bagian atasnya pun kecoklatan.

Namun ada satu bagian yang dirasa cukup mengesankan. Bagian alis mata. Jika banyak perempuan di luar sana yang mati-matian untuk membentuk alis mereka sempurna, untukku itu tidak perlu. Bentuk alisku sudah cukup bagus. Lalu rambutku, tipe gelombang. Terkadang bagian poninya sulit diatur karena ikal.

Kulitku sama dengan orang Indonesia lainnya, sawo matang. Dengan rambut gelombang dan kulit sawo matang seperti ini, mama sering mengatakan bahwa aku mirip orang latin. Padahal sejatinya jauh sekali.

Dan terakhir, tanda lahir! Ya, aku memiliki tanda lahir di pipi kanan. Persis dibawah mata. Saat kecil aku sempat dioperasi karenanya. Sekarang pun papa sempat beberapa kali mencoba membujukku untuk dioperasi lagi. Tapi aku terus menolak. Memang, dulu aku sempat takut tak memiliki teman karenanya tapi sekarang anggapan itu berubah. Aku bahkan berpikir bahwa tanda lahir inilah yang membuatku semakin manis. Di keadaan normal tentunya.

Senyumku mulai luntur. Sekarang barulah pikiran negatif mengambil alih. Penggalan gambaran mengenai wajahku yang tadi terasa tak berguna sama sekali.

Walau aku terlihat begitu bahagia dengan penampilanku, tapi di saat-saat seperti ini aku penasaran jika penampilanku tidak seperti ini. Bagaimana jika aku menjadi cantik dan modis seperti temanku yang lain? Apa aku akan mendapat teman seru yang dapat diajak hang out tiap saat? Lalu bagaimana dengan kisah romantismenya? Apa akan ada banyak lelaki yang mengantre hanya untuk menjadi kekasihku?

Jangan salah. Meski tampilanku kadang bisa dibilang tomboi dan memiliki bibit pemberontak dalam diri bukan berarti aku bukan tipe romantis. Aku mungkin bukan tipe perempuan yang menunggu pangeran berkuda, tipe ter-tidak-realistis yang pernah ada. Tapi aku pun membuat langkah dan tetap berharap pada satu lelaki.

Aku kembali ke realita. Nyatanya aku memang bukan gadis cantik, modis, apalagi populer. Namun aku masih memiliki harapan, di kepribadian.

Tapi kurasa harapan itu salah. Kepribadianku tidak ada istimewanya. Aku sering menangis, sering melakukan banyak kesalahan, terkadang bahkan menyakiti perasaan orang lain. Aku juga tipe orang yang bisa dibilang kurang ramah terhadap orang asing. Jangan salah, sebenarnya aku hanya ketakutan dan merasa canggung dengan orang asing. Maka dari itu aku selalu bersikap dingin saat berjalan.

Tapi tetap saja. Kesimpulan ini berakhir di fakta bahwa aku tidak menarik. Terlalu biasa, terlalu tengah-tengah. Kesimpulan ini ditunjang dengan kemampuan akademis dan non-akademisku yang juga biasa saja. Aku tipe siswa pasif. Hanya ada segelintir kegiatan non-akademis yang kuikuti. Akademisku pun rasanya tidak istimewa.

Aku menyandarkan tubuhku ke tembok seraya menunduk. Seperdetik kemudian tawa getir memenuhi ruangan.

"Ah apa yang kuharapkan? Sejak dulu memang beginilah adanya. Aku tidak menarik. Tidak ada yang bisa dilakukan dengan itu. Termasuk lelaki yang kuharapkan juga."

Yah begitulah. Keadaan kurang baik ini terkadang mengingatkanku akan batas tak kasat mata yang seharusnya tak kupertanyakan.

                              ∆∆∆

Netha's Note: Di malming ini keadaannya normal kok ^•^

When The Night Comes Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang