Isi

497 147 79
                                    

Murid-muridku kompak terdiam. Begini memang tipikal murid Indonesia jaman sekarang, diberi waktu bertanya, tidak ada yang bertanya, giliran sudah tidak boleh bertanya, malah ramai saling wawancara temannya. Saat ulangan, misalnya.

Oh ayolah, siapa juga yang betah melihat mereka saling menengok ke kanan ke kiri, satu dua bahkan menyikut lengan teman sebangkunya, sebagai isyarat tanya sana.

"Bu!"

Dea, si ketua kelas, mengacungkan tangannya. Meski kulihat mukanya sedikit kesal, mungkin saja dia terpaksa bertanya, mungkin juga karna sikutan dari teman sebangkunya.

"Bu, saya izin ke toilet ya, Bu."

Sorakkan nyaring memenuhi ruang kelas. Aku menghela nafas pelan, lalu mengangguk.

"Bu!"

Kali ini pandanganku teralihkan ke pojok ruangan. Anton, dengan baju yang berantakan mengacungkan tangan.

"Apa? Mau izin ke toilet juga?"

"Bu, saya mau nanya."

Baiklah, aku membenarkan posisi duduk. Mencoba mendengarkan dengan seksama.

"Kenapa di negara kita, banyak koruptornya, Bu?"

•••

"Sebelumnya, Bapak mau tanya, siapa di sini yang pernah mencontek?"

Seisi kelas hening, beberapa teman malu-malu mengangkat tangan. Sisanya menatap dengan muka pias, kebingungan antara jujur atau tidak.

Semetara aku, menimbang ingin ikut bagian mana. Tanganku yang mengepal di bawah meja kutarik perlahan, kemudian kuacungkan. Setidaknya, aku tidak pernah diajarkan untuk berbohong.

Teman-teman pasti heran, seorang juara kelas mengacungkan tangan, mengakui perbuatan yang seharusnya tidak di lakukan. Mukaku sedikit panas karna diperhatikan. Tidak masalah, aku jujur. Tidak apa, meski pahit. Sebisa mungkin aku menenangkan diriku sendiri.

Itu benar, semuanya tidak murni, nilai ku, bahkan gelar juara kelas itu juga tidak murni. Sekalipun aku belajar. Selesai ulangan, materinya akan terlupa.

Itu benar, aku hanya mengejar angka-angka, bukan mengejar ilmunya.

"Turunkan!"

"Kalian tahu? Kenapa banyak koruptor di negeri kita?"

Seisi kelas kembali hening.

"Karena kalian!"

Seisi kelas saling tengok kiri-kanan.

"Karena kalian, generasi muda indonesia gemar memanipulasi, kalian itu penyihir!"

"Kalian tidak belajar, tapi saat ulangan kalian mendapat nilai yang besar. Darimana? Ya darimana saja, bisa mencontek, bertanya, membuat catatan kecil, atau esok esok, saat teknologi sudah lebih baik. Kalian bisa dengan bebas mencarinya di mesin pencari otomatis itu. Ketik apa yang ingin kalian cari dan ting! jawabannya langsung tersedia,

"Itu namanya, kalian menghalalkan semua cara. Demi apa? Demi nilai, bukan ilmu!"

"Esok lusa, hal sekecil itu pasti akan berpengaruh. Ibaratkan saja, nilai yang kalian kejar itu uang. Sama halnya dengan kalian menghalalkan segara cara untuk nilai, kalian juga akan menghalalkan segala cara untuk uang."

"Indonesia punya banyak orang pintar, tapi Indonesia mulai mengalami kelangkaan orang jujur."

"Masa depan ada di kalian, kalian tentukan. Kalian bukan lahir untuk jadi apa-apa yang orang inginkan, kalian lahir untuk apa yang kalian impikan."

•••

Aku tersenyum, kembali menatap murid-muridku yang masih terdiam, tapi kini dengan wajah yang lebih enak dipandang.

Ah, lelah juga berbicara panjang lebar, bercerita kejadian yang sampai saat ini masih ku ingat.

"Ya, jam kita hari ini sudah habis, Wassalamualaikum."

"Bu!"

Aku menoleh.

"Terimakasih ya, Bu."

Anak anak berhamburan memelukku, ah indah sekali bersama mereka, menuntun mereka menjadi lebih baik dari sebelumnya. Menuntun para penerus bangsa untuk indonesia yang lebih merdeka.

---

Hella! Ini mungkin masih banyak kesalahan PUEBI. Mohon maaf untuk itu, kalau berkenan minta kritiknya. Terima kasih!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 17, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kenapa Banyak Koruptor di Indonesia?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang