3 : Pertanyaan Jelata

17 1 0
                                    


Kamu mati. Kamu patuh dan kamu mati. Prasangkamu baik. Rasa permusuhan telah kamu sambut dengan senyuman. Hadapi kekerasan dengan kelembutan. Terang. Gelap. Remang-remang. Tiada beda.

Tiada lagi hidup. Tiada lagi kepaduan identitas. Sebelumnya, kamu adalah sesuatu yang lebih dari sekadar jumlah bagian-bagian penyusun dirimu. Sekarang, kamu hanyalah semesta di ambang kehancuran. Tiap-tiap penghunimu, segala mikroorganisme, yang netral, merugikan, maupun menguntungkan, akan kehilangan kampung halaman. Apakah mereka tahu bencana ini? Apakah mereka gelisah?

Usai pekerjaanmu selesai, kamu tadi sudah duduk manis di terminal menanti keberangkatan. Pulang ke bumi. Kembali ke pelukan ibunda tersayang. Kemudian, tiba-tiba Nyonya Alka memanggilmu. Urusan penting katanya. Ini kesempatan. Secercah harapan untuk mengambil hati atasanmu meski selama ini dia memusuhimu. Namun sesampainya di ruang mesin kamu tidak menemukan yang kamu cari. Hanya ada seorang pria. Ia menyambutmu dengan maut di genggamannya.

Apa salahmu?

Hukuman langit atas kemunafikanmu?

Kamu mengingat kuliahmu di Venus dulu.

Mungkinkah kamu dihidupkan kembali nanti?

***

Baik, jahat. Benar, salah. Pahala, dosa. Ayah dan Bunda mendiktekan segalanya. Menyebalkan. Kadang perintah dan larangan mereka tidak masuk akal. Tapi semua itu harus dilaksanakan demi Rencana Langit. Mengapa langit yang berencana tapi kamu yang harus bersusah-susah?

Bagaimanapun juga, kamu akhirnya terbiasa. Lebih mudah mengiyakan daripada membantah. Lebih mudah menelan pertanyaan sendiri daripada membiarkannya terdengar. Lebih mudah membiarkan keotentikan dirimu mati kehabisan napas terkubur apa-apa saja yang keluar dari dubur orang tuamu. Ajaran-ajaran ini sudah cukup kamu kuasai sehingga bisa dijadikan rujukan dalam menghadapi permasalahan hidup; praktis. Ketika kamu mulai menikmati bagaimana rasanya paham, dengan mata berkaca-kaca, mereka memanggilmu. Ayah dan Bunda hendak mengungkapkan sesuatu.

"Kita bukan orang berada. Kita tak mampu membiayai pendidikanmu. Pendidikan Tinggi Terlindung sangatlah mahal. Hanya ulama-ulama tersohor yang bisa menyekolahkan anaknya di sana." Ujar Ayah.

Kalian sekeluarga tinggal di rumah susun usang di pinggir kota. Airnya sering kering. Ada pemadaman bergilir. Rumah kalian sebelumnya telah digusur, tak jauh lebih baik memang, namun setidaknya dulu masih ada sedikit jarak dengan tetangga. Sekarang? Bising. Tetangga sebelah pasutri yang sering bertengkar. Sebelahnya lagi pemabuk yang mengira ia dirinya penyanyi ulung, padahal sumbang. Sulit untuk belajar dengan tenang di rumah.

"Jadi," lanjut Ayah, seraya menepuk pundakmu, "Ada program beasiswa."

Kamu melirik Bunda. Ia mengatupkan mulutnya rapat-rapat dengan wajah tertunduk. Ayah menengadahkan kepalanya seraya bernapas panjang-panjang. Kamu sendiri hanya mampu menelan ludah. Kurang lebih, sebelumnya kamu sudah ada gambaran mengenai hal ini. Ada kasak-kusuk di Forum Remaja Pengkaji Langit tentang senior-senior yang telah berubah sifatnya, yang telah ternoda kepercayaannya, karena mengenyam pendidikan dari program beasiswa.

"Syarat-syaratnya mudah. Hasilnya juga menjanjikan. Kamu akan dapat pekerjaan. Ada juga jaminan bebas kemiskinan."

"Kita tidak miskin!" Tukasmu. Kamu berpikir sebentar. Teringat bahwa beberapa bulan belakangan ini, Ayah sering menjalani Puasa Mendung. "Aku tidak takut miskin!" Tambahmu.

"Jadi, kamu membantah orang tua?" Tanya Ayah.

Mengingat ajaran Rencana Langit tentang kepatuhan, kamu segera menjawab, "Tidak, Ayah! Aku hanya ungkapkan pendapat."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 26, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Sengketa Angkasa ManusiaWhere stories live. Discover now