[1]

6.7K 279 22
                                    


2009 - Masuk Paskibra = Keputusan Yg Salah?

Keinginan menjadi Pramugari sudah menggebu semenjak aku akan memasuki jenjang sekolah menengah atas. Dan keinginan itu berpengaruh kala aku memilih akan melanjutkan SMA dimana. Akhirnya aku terpikir untuk meminta bersekolah di sekolah kejuruan penerbangan di komplek lanud adisutjipto yang lumayan tidak jauh dari rumah.

Tetapi karena sekolah itu swasta, Papa memberi saran untuk aku mendaftar di sekolah negeri terlebih dahulu. Swasta bisa jadi cadangan saja. 

Akhirnya mendaftarlah aku di sekolah negeri di daerah Pakuncen yang julukannya 'Teladan'. Tanpa mengharap diterima karena keinginanku lebih besar di swasta tadi, ternyata malah namaku tercantum di sekolah negeri itu.

Dengan berat hati, aku bersekolah disana. Masuklah aku di jurusan IPS karena jam bahasa inggris di jurusan IPS lebih banyak jam daripada di jurusan IPA. Seorang Pramugari harus aktif dalam bahasa inggris, bukan?

Orang yang pertama kukenal di kelas 10 jurusan IPS adalah Tari, Athena Atari.

Tari ini orang Solo yang merantau ke Jogja. Orangnya ramah dan baik, karena itu aku langsung akrab dengannya. 

"By, omong-omong kamu mau ekskul apa?" Tari juga tidak pernah berelo - gue. Tau 'kan selembut apa orang Solo?

Minggu pertama sekolah sudah disibukkan dengan pemilihan ekskul.

"Masih belum tau, Tar. Kamu gimana?" 

"PMR aku kayanya. Kamu mau nggak ngikutin ekskulnya mbak Fira dulu pas dia SMA?" Mbak Fira adalah sepupu Tari yang saat ini sudah menjadi Pramugari di maskapai seragam serba hijau. Aku sangat amat mengidolakannya. Karena itu Tari sering bercerita tentangnya.

"Apaan Tar apaan???" balasku tertarik.

"Paskibra. Dulu mbak Fira waktu SMA ikut  itu karena ngebuat dia jadi lebih disiplin lagi.  Itu bagus lho, Byanca.. Soalnya hidup kamu nanti bakalan teratur aja." 

Aku yang mendengar kata Paskibra langsung melengos tidak tertarik. 

"Kenapa? Nggak mau ya?" tanya Tari penasaran.

"Kamu kaya nggak tau aja di Paskib ngelatihnya gimana. Serem tau, Tar." 

Tari tertawa mendengarnya. "Nah itu kan yang nantinya bakal ngerubah kamu. Dengan cara yang mungkin lumayan kasar. Tapi nggak apa-apa lah toh untuk kebaikanmu."

"Woy serius amat!!" seseorang memukul meja kami yang mengejutkan. Ternyata itu Gibran--ketua kelas.

"Kamu udah tau mau milih ekskul apaan, Gi?" tanya Tari. 

Gibran menjawab dengan mantapnya, "Paskib lah gue. Masa pake ditanya."

"Iya! Iya! Calon pak polisi 'kan harus coba ekskul yang menantang ya, Gi?" kata Tari. "Nah kebetulan! Nih, Gi, si Byanca ajakin daftaran bareng kamu aja coba."

"Lo mau masuk Paskib juga?" tanya Gibran padaku.

Aku berdecak, "Mana ah, Gi. Tari cuma nyaranin dan kayanya aku takut mau milih itu ekskul."

"Kenapa takut? Ada gue juga, By." canda Gibran. "Udah daftar aja ntar barengan."

"Yah serem aja." aku bergidik sendiri membayangkannya. 

Tari dan Gibran tidak memaksaku lagi. Sehari berlalu dan datanglah waktu selebaran pendaftaran ekskul dibagikan. Aku masih duduk memegang pulpen dan belum mengisi lembar itu sama sekali.

"Udah daripada kamu pusing mending ikutin saranku yg kemarin aja, By." kata Tari membuyarkan lamunanku. 

Aku  tidak berniat membalas perkataannya. Aku masih berkutat dengan pusingnya kepala harus memilih ekstrakulikuler apa. 15 menit kemudian baru kolom nama dan kelas yang aku isi. Tiba-tiba, tangan seseorang menyambar kertasku. Aku kaget bukan main. Itu Gibran. Dan saat ini dia sedang duduk di meja sampingku. 

"Oke udah gue isi. Gue kumpulin ya!" Gibran berlari ke luar kelas meninggalkanku yang melongo lalu Tari yang tersenyum jahil.

"Selamat masuk Paskibra, Byanca!" ucap Tari dengan sumringah.

Aku melengos kesal, "Gibran awas ya!!"

Saat aku sedang makan siang dengan Tari Gibran datang sambil memakan somay di tangannya. Dia melihatku lantas tersenyum jahil. "By, nanti balik sekolah latian ya jam 3. Oke! Dijamin deh gue jagain jangan takut."

"Dasar kamu ya, Gi!" aku mendatanginya lalu memukul lengannya. "Untung aja aku baik. Ya udah nanti aku dateng latian. Tapi jemput di rumah."

Gibran mengacungkan jempolnya. Dan sesuai dengan rencana dia datang latihan bersamaku dengan menjemputku tepat waktu di rumah. Saat pertama kali masuk kelas, banyak anak yang memilih ekskul ini. Hari itu dimulai dengan perkenalan diri dan mencatat beberapa materi lagu yang harus kami hapal.

Setelah menghapal beberapa lagu, kami dikomando berlalu 12 putaran lapangan. Hm, awal yang menakjubkan. Padahal, jam olahraga kami biasanya hanya berlari sekitar 7 putaran mentok. Ini harus 12x. Lapangan Teladan lumayan besar lho teman-teman.

Saat mendapat baru setengahnya aku merasa capek luar biasa. Mungkin karena memang tidak pernah berlari sebanyak itu. Aku memelankan langkah kakiku dan tertinggal oleh barisan teman-teman yang lain. 

Gibran yang melihatku berbisik, "By kalo nggak kuat istirahat aja, ya?"

Aku mengangguk. Napasku terengah-engah. Beberapa senior melihatku.

"Kenapa nggak kuat ya?" Sen Zeppa yang notabene adalah sekretaris Paskib menegurku. "Sini duduk di bawah pohon ya kalo nggak kuat."

"Aduh, aduh, lemah banget sih jun! Baru juga dapet setengah udah capek aja." Kali ini salah satu senior galak mengataiku terang-terangan. Kulihat wajahnya yang baru aku temui saat itu. Badan besar, bahu lebar, suara lantang yang menyeramkan, siapa sih senior ini?

Orang capek 'kan wajar! Enak saja dia mengataiku lemah!

Aku langsung bangkit dari dudukku dan menyusul barisan temanku yang lain. Kulirik senior galak yang tadi, dia tersenyum sinis menatapku. Ih, awas saja abang itu ya.

"Kok lari lagi By?" Gibran yang saat ini ada di barisan depanku bertanya.

"Eh Gi itu tuh siapa yang item badannya gede?" balasku yang mengabaikan pertanyaannya.

"Oh yang itu, itu namanya sen Tio, By. Kenapa?" jawab Gibran.

Oh jadi nama manusia songong itu Tio, ya..

"Nggak Gi, nggak apa-apa." jawabku sekenanya. Kenapa sih dia kasar sekali? Aku terus menggerutu dalam hati.[]

ANOTHER BYANCAWhere stories live. Discover now