[4]

2.6K 171 10
                                    


4. 2009 – Jabatan Yang Sama


"Minuman itu bukan dari lo 'kan, Ga?" abang galak—eh maksudku bang Tio mengucapkan itu dengan pelan tetapi penuh penekanan.

Kak Raga mengernyitkan dahinya, "Apaan sih maneh, Yo?"

"Emang bukan 'kan?" tanyanya sekali lagi.

Kenapa bang Tio ngotot seperti itu? Kenapa dia juga tahu kalau itu sebenarnya bukan dari kak Raga?

"Eh.. apaan sih malah pada ribet lo pada." Kak Zeppa menyahut. "Udah jun, kalian dangak trus buka mulut kalian ya. Saya mau bagiin kalian minum ini." Oh iya aku lupa memberitahu kalau di forum bahkan sekolah kami, junior dipanggil dengan panggilan 'jun' dan senior dipanggi dengan 'sen'. Itu sudah menjadi tradisi warisan terdahulu.

Kak Zeppa menatap ke arahku. "Ini memang punya lo jun. Tapi nggak mungkin 'kan mau lo minum sendiri? Nggak mau jadi apatis 'kan? Dibagiin sama yang lain ikhlas nggak?"

"Siap ikhlas sen." jawabku.

Kemudian kak Zeppa menuangkan sedikit demi sedikit pocari sweat itu ke mulut junior yang lain. Kami tetap harus menghabiskan roti dan teh yang kami bawa juga. Tetapi seenggaknya ada minuman enak yang masuk ke tenggorokanku.

Siapapun dia yang memberiku itu, aku berterima kasih sekali.

Saat di mobil, Gibran jelas menginterogasiku dengan banyak pertanyaan yang mungkin saja juga terpikir di kepala anggota Paskib yang lain.

"Byanca?? Itu tadi serius dari sen Raga? Lo dikasih sama dia?? Pantesan lo tadi lama banget di dalem sama dia. Lo ditaksir sama dia ya? Lo ditembak? Dia ngomong apa???" todong Gibran membuatku pusing sekali.

"Satu satu kali Gi nanyanya!" balasku.

"Oke aku jawab. Itu bukan dari kak Raga. Aku nggak tau itu dari siapa. Dia nggak naksir aku! Apalagi ditembak, ngaco kamu! Aku juga nggak tau kenapa dia tadi bersikap kaya gitu seolah-olah emang dia yang ngasih."

Gibran mengernyitkan dahinya, "Kok aneh?"

"Nah, itu!" sahutku sepemikiran dengannya.

"Emang dia kali By yang ngasih." balas Gibran.

"Trus siapa?"

"Ya nggak ada lagi yang lain. Beneran naksir lo kali dia By."

Aku memukul lengannya, "Sembarangan kamu! Kalo Tari denger nanti bisa salah paham tau!"

Gibran mengaduh kesakitan, "Aduh iya iya bu, maap! Ya udah By gue sih berdoa ya semoga tu minuman nggak ada racunnya tadi."

"IH KALO ADA GIMANA GI???" seruku kaget. Iya juga ya kenapa tidak terpikir di aku.

"Mati semua kita satu forum." Gibran tergelak seketika.

Aku menutup mulutku dengan kedua tangan, "Ih amit-amit Gi! Sembarangan lagi kamu!"

"Lebih parahnya lagi kalo minumnya isi pelet, By. Wah satu forum ntar cinta mati sama tuh orang tuh yang ngasih minumnya ke lo!" katanya lalu terbahak-bahak.

Kugelengkan kepalaku menatap Gibran dan menahan tawa. Benar juga sih, gimana ya kalau itu minum isinya pelet? Ah aku berdoa semoga tidak ada hal aneh apapun dibalik itu semua.

Sesampainya aku dirumah aku langsung membersihkan diri lalu sholat maghrib. Kuambil handphone blackberry hitam di atas nakas. Aku melihat notifikasi yang muncul di handphoneku. Ada beberapa BBM masuk yang diantaranya adalah undangan dari kontak baru. Aku membiarkan begitu saja karena setelah membaca namanya kurasa aku tidak mengenalnya.

Keesokan harinya pengumuman berkaitan dengan calon anggota OSIS tertempel di papan mading. Saat aku mencari namaku, seseorang mendorongku dari belakang. Dan itu Kenisha—teman sekelasku yang juga ikut mendaftar menjadi calon anggota OSIS.

"Eh, Byanca! Selamet ya yang jadi wakil. Gue cuma dapet sekretaris nih. Tapi nggak apa-apa deh." ujar Kenisha.

"Wakil? Wakil apaan nih, Nis?" tanyaku bingung. Bagaimana tidak, saat sedang sibuk mencari namaku di papan aku terhalang banyak siswa yang juga sedang melihat pengumuman juga.

Kenisha membulatkan matanya, "Lah lo belum tau, By? Ya udah gih baca aja dulu. Gue ke kelas duluan ya!"

Aku melihat Kenisha yang segera berlalu. Dengan penuh rasa penasaran kuteliti tulisan yang agak jauh dari pandanganku itu. Agak sulit karena di depanku banyak manusia-manusia yang berhimpitan. Cukup kesal, aku mundur dan mengurungkan niatku untuk mencoba melihatnya. Daripada tidak ada hasil mending menunggu sepi saja.

"Oh disini ya si wakil ketua osis yang baru. Aku cari-cari juga." Tari muncul dari tangga sebelah mading.

Sebentar, tadi apa yang dia bilang? Oh ya ampun. Serius aku dapat jabatan wakil ketua? Aku yang kaget bukan main saat ini hanya terpaku menatap Tari.

"Kamu kenapa sih, By? Malah bengong lagi. Kamu ngapain di sini? Udah liat pengumuman buru ke kelas aja bukannya malah di sini."

"Tar.."

Tari menatapku, "Apaan? Kamu kedip dong masa kaya orang kesurupan gitu sih. Takut aku malahan."

"Beneran Tar.." sambungku terbata.

"Beneran apa, Bya?" jawab Tari.

Kulanjutkan kalimatku, "Beneran aku jadi.."

"IH!" Tari memukul jidatku. "Lama banget ngomongnya keburu bel tau nggak!"

"Beneran aku jadi wakil ketua?" balasku akhirnya.

Tari menaikkan alisnya, "Kamu kaya gimana sih, By. Jadi dari tadi kamu di sini ngapain? Belum liat pengumumannya? Udah aku tungguin lama-lama jadi kamu di sini bengong aja gitu?"

Belum sempat kujawab omelannya, Gibran datang. Dia langsung memaksakan diri untuk menembus gerombolan orang di depan mading.

"Tuh, si pak ketua nya baru dateng." celetuk Tari. "Luar biasa ih anak kelas kita banyak yang jadi anggota OSIS."

Tak lama kemudian Gibran muncul dari dalam lautan manusia tersebut. Dia melihat kami lalu menghampiri kami dengan muka kegirangan.

"Alhamdulilaaah Tari, Byanca. Gue dapet jabatan ketua, oi! Sumpah demi apa??? Apakah ini hanya mimpi? Jangan-jangan bentar lagi gue bangun dengan seliter iler yang mengalir di pipi. Itu berarti gue mimpi. Tapi semoga nggak, semoga aja! Tari tolong jel—"

"Nyerocos aja ini manusia." Tari memukul mulut Gibran dengan gulungan karton yang cukup tebal.

"Ih jahat banget lo! Sakit nih mulut gue. Tapi nggak apa-apa gue lagi seneng rasanya pengen jungkir balik. Ah udah gitu wakil gue si cakep ini lagi." Gibran refleks menyenderkan kepalanya di tangan kananku bak seorang anak kucing bertemu induknya.

Tari langsung memelototinya. "Eh, eh, apa-apaan nih nempel nempel temen aku segala?!"

Gibran mundur seketika. Aku mengabaikan tingkah laku dua sahabatku itu. Aku masih tidak percaya dengan apa yang ada.

"Demi apa, jadi beneran gue dapet jadi wakil nih Tar? Gi?" tanyaku.

Tari mengangguk. Gibran pun begitu.

Aku menghembuskan napas panjang. Ada rasa bahagia bercampur kaget kala itu.

"Berarti nanti waktu Sertijab* gue tuker bendera sama sen Mia yang cantik itu dong. Asik, asik!" Gibran berseru bahagia.

Memang ketua Osis kami pada waktu itu cantiknya luar biasa. Semua kaum adam di sekolahku tidak mungkin tidak menyukainya.

"Eh bentar bentar deh. Jadi tiap jabatan nanti pas Sertijab ngasih bendera ke penggantinya?" tanyaku menyadari sesuatu.

Gibran dengan semangatnya menjawab, "Iya cuy. Asik banget 'kan, By? Asik lah orang nanti lo dapet bendera dari abang tampan nan rupawan. Iya 'kan Tar?"

Tari tersenyum menatapku. Oh tuhan, jadi nanti di tengah lapangan saat sedang upacara aku harus menatap abang menyebalkan itu dan mengambil bendera dari tangannya?  Yang benar saja.[]


*Sertijab : serah terima jabatan.

ANOTHER BYANCAWhere stories live. Discover now