Bagian 2

5.8K 428 25
                                    

Aku Dira. Dira yang masih sama dengan tiga hari yang lalu dan udara di daerah tempatku tinggal pun masih sama panasnya dengan hari-hari kemarin.

Awan seakan takut menutupi ganasnya panas matahari siang ini. Aku tiba lebih awal dari hari-hari sebelumnya. Walaupun begitu, sudah menjadi kebiasaan langkahku selalu lebih cepat kalau pergi ke halte. Bukan masalah panasnya, tapi malas kalau setiap waktu harus berebutan dengan penumpang lain untuk mendapat kursi.

“Santai, Mas. Bus AC-nya belum lewat,” kata penjual teh botol yang berada di halte bus ketika melihat aku tiba di halte dengan tergesa-gesa. Saking seringnya aku bertanya tentang keberadaan bus AC kepada Mas-Mas tukang teh botol-lah kenapa dia berkata seperti itu.

“Oh gitu? Untunglah!” jawabku sambil menarik napas dalam-dalam dan mencari tempat duduk di bangku halte.

Kupindahkan tas yang kugendong ke pangkuanku. Ku keluarkan headset dari kantong paling kecil di tasku. Ketika hendak memasangkan headset, seseorang berbicara padaku.

“Bimbingan lagi, bro?” tanya orang di sebelahku. Refleks aku pun menoleh.

“Ehm ... siapa ya? Ah! Yang waktu itu ketemu dan duduk sebelahan di bus 'kan? Anak sastra Jepang juga?” kataku sambil mengingat-ingat.

Walaupun penampilannya berbeda. Kali ini dia mengenakan topi kupluk abu-abu, rambut bagian depannya terlihat dari balik topi kupluknya dengan kaos biru lengan pendek dan celana jeans hitam. Tampak lebih segar dan santai daripada sebelumnya ketika pertama bertemu saat dia memakai kemeja, jaket, dan topi hitam di dalam damri. Ugh!

“Haha ... iya. Gimana skripsinya?” Dia bertanya.

Nama orang ini aku ingat-ingat lupa. Ingatan jangka pendekku sangatlah parah kalau urusan seperti ini, apalagi hanya selewat-selewat. Ah, lupakan. Aku pun berusaha untuk tidak terlihat lupa siapa dia.

“Yah … lumayanlah bimbingan kemarin cukup memuaskan. Walaupun ada yang harus diperbaiki soal beberapa budaya Jepang yang udah masuk dan sering digunakan sama anak-anak muda Indonesia yang keranjingan Jepang-Jepangan,” jawabku penuh semangat.

“Oh ... gitu.” Dia tersenyum. Kali ini senyumannya paling lebar dari apa yang aku ingat.

“…. Anak-anak fikom sekarang lagi sibuk-sibuknya bikin persiapan acara fakultas ….” Terdengar obrolan beberapa calon penumpang yang tidak jauh dari bangku tempat aku dan orang ini duduk.

“A ... a… haha …”

Fikom! Kata itu bagaikan sambaran petir untukku setelah berbicara panjang lebar tentang skripsi. Aku hanya bisa membalas senyumannya dengan canggung. Sial! Ternyata hari ini adalah hari kebohonganku yang nggak penting ini terbongkar di waktu yang tidak tepat.

“Nyantai aja Dir. Dari awal gua udah tahu kok, lu anak Sastra Jepang juga.”

DUAR!

Dia mengetahui kalau aku berbohong dan memakluminya. Kata-kata barusan membuatku ingin menggali lubang sedalam-dalamnya untuk menutupi rasa malu ini.

“Gua sering lihat lu kok. Suka bareng-bareng sama gengnya Dimas cs 'kan?”

Alamak. Aku tersudutkan. Dia tahu soal aku. Malu sekali rasanya ketika kita berbohong, padahal orang lain tahu kebohongan kita.

“So, sorry … bukannya mau bohong. Tapi asli, waktu itu saking malesnya panas-panasan di dalam bus, jadi gua gak terlalu menghiraukan sekeliling,” jawabku sedikit salah tingkah.

“Nggak apa-apa, kok. Gua maklumin. Gua Regi. Pasti elu lupa 'kan?”

“Euh ... nggak kok. Masih inget!”

Antara Aku, Dirimu dan Dirinya : Cinta Di Sastra JepangWhere stories live. Discover now