Bagian 16

2.2K 249 8
                                    

Tiga hari setelah festival di akhir pekan yang sangat meriah, akhirnya kampus kembali dengan suasana yang membosankan dengan aktivitas yang monoton. Khususnya bagi kami para mahasiswa tingkat atas yang sebenarnya tidak ada alasan kuat untuk ke kampus selain untuk revisi dan ngumpul-ngumpul dengan teman-teman.

Aku Dira. Siang ini aku dan teman-teman memutuskan untuk melakukan kembali kegiatan yang beberapa waktu terganggu oleh aktivitas masing-masing, yaitu bertemu dan makan siang bersama di kantin fakultas.

“Eh, Gi! Kok akhir-akhir ini manèh sering banget ke kosan yak?” tanya Ferdi penasaran saat sedang makan bersama di kantin fakultas bersama aku, Regi, Ray dan Dimas.

Lagi-lagi Tommy tidak ada dalam perkumpulan ini. Sepertinya, sudah tampak natural kalau Regi sering berkumpul dengan kami dan Tommy jarang untuk bisa berkumpul dengan kami.

“Emang kenapa? Nggak boleh ya gua nengokin dan main sama lu di kosan?” Regi bertanya balik kepada Ferdi.

“Lah … manèh sih. Bilang nengokin gua, tapi tiap kali ke kosan ujung-ujungnya menclok di kamar si Dira. Sampe sering nginep segala. Nggak pernah gitu maen ke kamar gua!” protes Ferdi.

Aku hanya tersenyum kecil di balik segelas teh manis dingin yang kuteguk saat mendengarnya. Mengenai hubunganku dengan Regi, tidak ada yang mengetahuinya.

“Iya iya. Nanti gua tengokin kamar lu. Tapi beresin yak. Gua nggak mau ada kecoa lewat pas gua maen ke kamar lu!” seloroh Regi. Ya, banyak perubahan pada diri Regi. Dia semakin percaya diri, lebih suka mengobrol dan bercanda.

“Eits, jangan salah. Kamar gua lebih rapi dibanding kamar Dira!” kata Ferdi.

“Wajar dong! Kamar lu siapa yang datengin? Sekali diberesin awet setahun rapinya. Kamar gua 'kan banyak pengunjungnya. Apalagi si cenayang ini yang dateng tiga kali sehari kayak obat. Kamar lu? Paling Tommy lagi yang dateng. Hahaha.” Aku tertawa sambil diikuti tawa yang lainnya yang menyetujui ucapanku.

“Eh, Mas, kamu kok dari tadi diem aja?” tanya Ray menyadari kalau Dimas seperti berada di alam lain, tidak memperhatikan dan bergabung dalam obrolan seperti biasa.

“Nggak apa-apa,” kata Dimas. Matanya menerawang ke luar jendela kantin.

Sepertinya, akhir-akhir ini keadaan Regi dan Dimas berbalik. Regi menjadi lebih bersahabat dan Dimas menjadi pendiam dan cenderung menghindar.

Selain itu, Dimas juga menjadi sangat sulit ditemukan di kampus, bahkan di perpustakaan yang sebelumnya sudah menjadi icon-nya. Ditambah, keabsenannya di festival kampus membuat semua orang kebingungan.

“Nggak ada masalah 'kan? Aku nggak lihat kamu pas di festival. Sampai-sampai Pak ketua jurusan nyari-nyari kamu buat jadi penerjemah orang Jepang kayak biasa. Karena nggak nemu kamu, akhirnya dengan ragu-ragu pak ketua jurusan manggil Johan buat gantiin kamu nemenin Prita,” kata Ray dengan anda penasaran.

“Hm ... lupa,” kata Dimas asal-asalan masih menerawang ke luar kantin.

Tidak lucu dan tidak biasa! Ini bukan Dimas yang aku kenal.

"Ehm ... aku duluan ya!" kata Dimas dingin sambil berlalu.

Aku merasa kalau makan siang bersama belakangan ini terasa sangat hambar. Terkadang, pikiranku yang merasa bersalah atas perubahan sikap Dimas belakangan ini menguasaiku.

Aku tahu, ini karenaku juga. Dimas lebih sering menghindari kami, khususnya aku. Sesekali Dimas memalingkan wajah dariku ketika mata kami bertemu satu sama lain. Mengambil jalan lain bila kami perpapasan di jalan. Pura-pura tidak mendengar atau mengobrol dengan yang lainnya saat aku hendak menyapanya.

Antara Aku, Dirimu dan Dirinya : Cinta Di Sastra JepangDove le storie prendono vita. Scoprilo ora