TIRI-LIMA BELAS

2.2K 170 33
                                    

...
Jangan menyerah untuk memperjuangkan hal baik.

...

Dengan langkah tergesa-gesa, Dwi memasuki rumahnya. Ia mengitari seluruh kawasan rumahnya. Namun ia tidak menemukan Mbok Djum. Ia kembali keluar rumah, ia berjalan ke rumah di sampingnya. Ia ketuk pintunya, dengan tidak sabaran ia menunggu pemilik rumah membukakan pintu. Begitu pemilik rumah membukakan pintu, ia segera memberondong Bude Padmi dengan pertanyaan. Ia bertanya apa yang terjadi. Begitu Bude Padmi memberitahukan apa yang terjadi, ia tersentak. Tubuhnya menegang dengan tangan terkepal di kedua sisi tubuhnya. Dwi mengira ia salah dengar saat Bude Padmi bilang bahwa anak dan menantu Mbok Djum datang. Tapi melihat ekspresi serius Bude Padmi, ia yakin itu benar. Lantas ia segera pamit pulang, ia mengeluarkan kembali motornya. Ia kunci seluruh pintu rumah termasuk gerbang depan. Ia lajukan motornya ke rumah anak Mbok Djum. Ia mengendarai dengan kecepatan di atas rata-rata. Ia khawatir dengan Mbok Djum. Hatinya tidak tenang. Apalagi ia cukup tahu bagaimana perlakuan menantu Mbok Djum pada mertuanya.

Begitu tiba di rumah anak Mbok Djum, ia segera turun dari motor. Terdengar suara ribut-ribut. Dwi maju ke depan pintu, ia mendengarkan dengan seksama. Sudah biasa is mendengar semua ini jika bertandang ke rumah Mbok  Djum.

Mbok Djum sedang di maki-maki oleh menantunya. Dwi tidak mendengar suara pembelaan dari anak Mbok Djum hanya isak tangis. Dwi menghela napas. Kenapa anaknya sendiri nggak mau belain orang tuanya? Apa karena terlalu takut sama suaminya? Dengan  pikiran-pikiran yang terus berseliweran Dwi ketuk pintu itu sedikit keras. Terdengar derap langkah mendekat. Pintu terbuka menampakkan wajah sembab putri Mbok Djum. Sudah kuduga hal ini pasti terjadi. Mbak Wida. Wida terperanjat melihat Dwi di depan pintu. Ia segera masuk tanpa mempersilakan Dwi masuk. Tidak sopan. Tidak berapa lama, Mbok Djum keluar dengan wajah sama sembabnya. Dwi mengerutkan kening melihatnya.

Mbok Djum mempersilakan Dwi masuk dan duduk saat melihat Dwi masih berdiri di ambang pintu. Dwi melangkah masuk, duduk di kursi kayu di sana. Ia bertanya, "Ada apa ini, Mbok?"

"Anu, Mas. Simbok nggak bisa cerita di sini."

"Ya sudah, ayo pulang, Mbok."

Mbok Djum mengangguk. Ia masuk untuk berpamitan pada anaknya. Kemudian Mbok Djum ikut Dwi pulang ke rumah. Rencana rapat dengan klien terpaksa diundur dua jam karena ini. Tapi ia tidak menyesal. Ia tidak ingin terjadi hal buruk pada Mbok Djum mengingat temperamen buruk menantunya.

Dwi meninggalkan Mbok Djum di rumahnya. Ia wanti-wanti Mbok Djum untuk tidak membukakan pintu jika itu orang jahat atau tidak dikenal. Dan untuk terus mengabarinya jika terjadi sesuatu. Mbok Djum mengangguk, Dwi beranjak pergi lagi ke kantor.

Di kantor ternyata kliennya sudah datang. Dwi menghampiri kliennya. Ia kemudian menerima beberapa berkas yang di bawakan Dion. Mereka membahas proyek baru hingga terjadi kesepakatan sore harinya.

Untuk sejenak Dwi mampu melupakan masalahnya dengan Ricka. Tapi saat ia akan pulang ia teringat Ricka. Ia segera berpamitan pada teman-temannya, ia menyeberang membawa motornya sekaligus. Ia menunggu Ricka di depan restoran. Namun Ricka kembali menghindar, ia pulang lewat pintu belakang.

Dwi mendesah kecewa, ia pulang dengan tangan hampa. Ia tidak berhasil menemui atau berbicara dengan Ricka. Tapi ia bertekat untuk terus mencoba menghubungi Ricka.

***

Terlihat wajah sendu Mbok Djum yang sedang duduk di teras belakang. Dwi menghampiri Mbok Djum. Ia duduk di kursi sebelah Mbok Djum. Ia menatapnya sejenak, mengembuskan napas lalu bertanya, "Sebenernya apa yang terjadi, Mbok?"

Mbok Djum menoleh pada Dwi. Ia sedikit tidak enak untuk menceritakan masalah ini. Tapi masalah ini sudah bukan rahasia lagi, sudah banyak yang mendengar langsung keributan mereka. Sudah tidak heran jika Mbok Djum diperlakukan semena-mena oleh menantunya, Ridho. Ia menghela dan mengembuskan napasnya pelan. Lalu berujar, "Ridho butuh uang buat bayar sekolah Ratna, Mas."

"Mas Ridho kerja di mana?"

"Sudah dua tahun ia nggak kerja, Mas. Mas kan tahu dia mantan tukang pukul. Nggak ada yang mau nerima dia. Takut sama temperamennya."

"Mbak Wida?"

"Wida kerja di pabrik garmen mas. Tapi uangnya buat makan. Ratna nggak mau sekolah lagi."

"Kenapa dia nggak mau sekolah?"

"Mbok kan sudah tinggal di sini sebulan, Mas. Uang sekolah Ratna, biasanya simbok yang bayar. Tapi sejak simbok pindah ke sini. Mbok nggak bayar uang sekolah Ratna. Ratna juga nggak minta uang sama simbok."

"Ratna telpon simbok buat minta uang?"

"Nggak, Mas. Yang telpon tadi Wida. Terus Ridho denger."

"Terus mereka ke sini minta uang?"

"Iya, Mas. Tapi Mbok nggak ada uang. Sudah di minta Ali buat istrinya lahiran."

"Mereka marah sama mbok karena nggak ngasih duit?"

"Iya. Ridho ngira Mbok pilih kasih. Ali dikasih dia nggak."

"Kok bisa Mbok pulang?"

"Mbok takut Wida diapa-apain, Mas."

"Sampai rumah Mbak Wida diapain, Mbok?"

"Ditampar, Mas."

"Lha kok?"

"Ridho bilang, nggak ada gunanya punya orang tua kayak simbok."

"Sing sabar, Mbok. Berdoa terus. Dwi yakin Mas Ridho pasti berubah."

Mbok Djum mengangguk. Ia menatap Dwi lalu menghela napas dan beranjak memasuki rumah. Dwi mengikuti langkah Mbok Djum. Ia menuju kamarnya.

Dwi setengah berbaring di kasurnya. Kakinya menjuntai di lantai. Ia merentangkan tangannya, menatap langit-langit kamar. Benaknya memikirkan Ricka. Setitik rindu menyelinap ke dalam hatinya saat ia memejamkan mata, terbayang paras ayu milik Ricka. Ia membalik badannya menjadi miring kiri menghadap almari. Ia menatap pantulan dirinya di cermin. Apa yang bisa dibanggakan dari dirinya. Ia bukanlah seseorang yang sempurna fisiknya. Ia hidup dalam keterbatasan. Ingin ia membenci, tapi kepada siapa.

Benaknya terus saja berpikir hingga Dwi tertidur dengan posisinya.

***

Beberapa hari Dwi selalu menelpon Ricka, mengiriminya pesan. Namun tidak ada yang dijawab Ricka. Dwi selalu makan siang di restoran, setiap sore selalu menunggu Ricka. Tapi seluruh usahanya sia-sia. Ia tidak berhasil bicara dengan Ricka. Pikirannya menerka-nerka. Apakah ia salah jika ia mengungkapkan perasaannya?

Pikirannya berkecamuk memikirkan itu. Hingga sore hari Dwi tidak bisa fokus dengan pekerjaannya. Ia memutuskan untuk mencoba menunggu Ricka lagi. Dwi membuka pintu kantornya, berjalan ke jalan raya dan menyeberang. Kemudian ia duduk menunggu Ricka di depan restoran.

Ricka keluar dari restoran. Ia melihat Dwi, Ricka mengesah. Ia sudah bosan main kucing-kucingan dengan Dwi dan Yusuf. Ia menghampiri Dwi, lalu menepuk pundaknya.

...

To be continued

1.001 Words
Sabtu, 30 Desember 2017
04. 25 AM

Till I Reach It [Complete] - RevisiNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ