[21] Penantian Yang Terbayar

27.2K 2.4K 279
                                    

Senin, 26 Mei 2014--17:47
A/N: gue udah sembuh yeay! entah kenapa ide itu datang di waktu tak terduga (?) wkwk. mau ngusulin aja, baca bagian Clarion-Crystal sambil denger lagu Tahu Diri-nya Maudy Ayunda ya! ada tuh di mulmed, wkwk. gue nulis bagian mereka sambil denger lagu itu. weits, kebanyakan bacot nh gue. selamat membaca! :*

==========

“Kamu yakin tempatnya disini?” tanya Duff pada Lica.

Gadis itu mengangguk. Mereka tiba di bibir pantai dimana hanya terlihat hutan lebat yang mencurigakan. Sebelum mereka sampai di sini, mereka saling bergandengan kemudian memikirkan suatu tempat dan whoof! Tibalah mereka di tempat yang diinginkan.

“Aku yakin disini,” Lica menengadah. “Orangtuaku ditemukan disini.”

Tanpa sadar Duff mengusap lengan Lica dengan lembut. Gadis itu hanya tersenyum menanggapi perlakuan Duff. Dia menghela napas dengan berat. Dalam keheningan, mereka memasuki hutan.

“Aku penasaran apa yang membuat Papa dan Mama meninggal,” ucap Lica sangat pelan.

Duff menoleh. “Jika kita bertemu dengan dia yang bertanggung jawab atas kematian orangtuamu, aku pasti akan menghabisinya.”

“Aku bisa kali, sendiri juga—“

Syiuuuutt. Baru beberapa langkah mereka memasuki hutan, Lica terjerat oleh benang tipis transparant hingga tubuhnya tergantung diantara pepohonan.

“INI APAAN?!” pekiknya histeris.

Duff mengerjap beberapa kali, memperhatikan tubuh Lica yang terbalik. Wajahnya memerah karna darah di tubuhnya mengalir ke kepala. Dia berusaha berontak meskipun kedua tangannya tertarik ke kanan dan kiri dengan erat.

“Lica, tenang.” Tangan Duff mengeluarkan gumpalan asap hitam, membentuk pedang runcing nan tipis. Mata cowok itu menatap sekitar dengan awas.

“Gimana gue bisa tenang?!” teriak Lica lagi.

Bagaimana seorang gadis bisa tenang ketika rok yang dipakainya kini tersingkap? Paha Lica yang mulus kini terekspos. Mau tak mau Duff harus memalingkan pandangannya ke arah lain.

“Jangan coba-coba buat nengok sini, ya!” ancam Lica.

Duff terkekeh dengan wajah merona. “Makanya kamu cepetan turun.”

“Gimana bisa turun kalo kedua tanganku aja gabisa di gerakin!” katanya kesal. “Kakiku juga gabisa gerak!”

Duff ingin tertawa, sungguh. Apalagi melihat wajah Lica yang sudah merah padam. Bibirnya mengerucut kesal, tangannya bergerak-gerak berusaha melepaskan jeratan sekaligus ingin menutupi bagian bawahnya.

“DUFF! CARI PELAKUNYA! KAMU SENENG YA AKU KAYAK GINI?!” Lica marah.

“Enggak lah.”

Akhirnya tawa Duff pecah, namun matanya segera menyisir sekitar. Memperhatikan pergerakan mencurigakan. Apapun yang telah menjerat Lica kini pasti berada di dekat sini.

“DUFF!”

“Psst,” Duff mengangkat tangannya yang bebas, memberikan isyarat pada Lica untuk tenang. “Jangan berisik.”

Akhirnya gadis itu diam. Namun bibirnya tetap cemberut. Pipinya sudah menggembung dan sebal akan benang yang menjeratnya ini. Matanya memperhatikan Duff yang berdiri tepat di depannya dengan kuda-kuda.

“Duff bego,” gerutu Lica. “Kenapa gak potong benang-benang sialan ini dulu sih?”

“Oh iya.”

Duff tertawa akan kebodohannya dan segera menebas tiga sisi dimana benang-benang itu mengikat Lica dengan erat. Setelah benang itu terputus, Lica langsung terjatuh ke tanah. Diantara kesal dan rasa malu, kakinya menendang Duff dengan keras.

FL • 1 [Fericire]Where stories live. Discover now