Chapter #49 When the time is gone, no chance to left

4.1K 299 30
                                    

Lampu merah sebagai tanda bahwa operasi sedang berlangsung, menyala. Namun pintu tiba-tiba saja terbuka. Seseorang berpakaian hijau lengkap dengan penutup kepala dan masker yang mulut yang sudah diturunkan ke dagu keluar dari ruangan itu setelah hampir tiga jam berlalu. Begitu melihat dokter residen itu, seorang wanita bergegas menghampiri.

“Dokter! Apa yang terjadi? Bagaimana keadaan anak saya?! Dia baik-baik saja, kan, Dok?!”

“Pasien membutuhkan darah tambahan. Tapi kami kehabisan persediaan-”

“Ambil darah saya. Golongan darah kami sama. Saya kakaknya,” potong Adnan.

“Kalau begitu, silahkan ikuti perawat kami.”

Adnan mengangguk dan mengikuti perawat di samping dokter muda tadi yang sudah kembali ke ruang operasi dengan cepat. Ia bahkan tidak sempat untuk berhenti melihat ayahnya yang tiba dengan sorot panik tergambar jelas di mata laki-laki itu.

“Laras, apa yang—bagaimana keadaan Aga?”

“Adam!” isaknya tak tertahankan. “Ini salahku. Ini salahku. Aga ... Aku ... aku ... Adam, aku benar-benar minta maaf. Aku yang udah buat Aga jadi kayak gini ... A-aku ... akulah yang bikin ... Aga kecelakaan. Semua ini salahku. Jika aku ... jika aku nggak menekannya ... jika aja aku nggak ... aku aku minta maaf. Aku benar-benar minta maaf ....”

Tante Laras jatuh berlutut dan menangis di kaki Om Adam. Tubuhnya seperti akan hancur saat ini. Hatinya pecah berkeping-keping hingga ia harus mendekap dadanya kuat-kuat. Setiap tarikan napas membuat paru-parunya seperti ditusuk dengan pisau.

Semua ini salahnya. Dia yang membuat Aga tertekan dan mendorong putranya untuk bunuh diri. Dialah yang mencoba membunuh Aga dengan tangannya sendiri. Salahnya.

Jika saja ... Jika saja dia tidak ... Tuhan tolong... jangan ambil Aga. Anak itu tidak melakukan kesalahan apapun. Ambil saja nyawanya. Tolong ambil saja nyawanya sebagai gantinya. Jangan ambil anak itu ... Dia tidak salah apapun ....

Om Adam merengkuh tubuh Tante Laras erat. Menyadari bahwa istrinya sedang bergetar hebat karena ketakutannya sendiri akan keselamatan Aga. Kepedihan yang memenuhi setiap jengkal tubuh istrinya itu membuat ia sesak. Ia menepuk punggung Laras pelan, mencoba untuk menenangkan wanita itu. Sama seperti yang dilakukan Adnan sebelumnya.

“Aga akan baik-baik aja. Sama seperti sebelum-sebelumnya. Dia anak yang kuat. Jadi tenanglah. “

Tuhan tolong ....

“Tenanglah ...” ucapnya sekali lagi dan merengkuh Tante Laras dalam pelukan.
Menepuk puncak kepala Tante Laras dan membiarkan wanita itu mencurahkan semua airmatanya.

***

Caca menyeret langkahnya lemas dan tak bertenaga. Lemah karena seluruh semangatnya untuk bernapas seakan menguap entah ke mana. Tidak menyisakan apapun baginya untuk merasa bahagia.

Bahagia.

Kalimat itu seakan menjadi hal paling menyedihkan di dunia yang pernah ia dengar saat ini. Kebahagiaan itu seperti apa sebenarnya?

Kenapa ketika ia belajar untuk memahami perasaan bahagia itu, justru kesedihan yang ia dapatkan?

Gadis itu memejamkan matanya. Ia bahkan harus berpegangan pada besi di koridor agar tubuhnya tidak luruh ke lantai. Hatinya mengernyit pilu. Terasa begitu nyeri setiap kali ia melihat wajah Aga di dalam ruangan sana.

Dan setiap kali ia keluar dari ruangan itu, ia harus menepuk-nepuk dadanya sendiri yang terasa sesak. Ia harus mengingatkan dirinya sendiri untuk bernapas.

Hatinya terpilin ke berbagai arah ketika melihat jarum-jarum infus dan berbagai peralatan medis lainnya terhubung ke tubuh Aga. Terpilin hingga hampir terkoyak. Setiap kali teringat bagaimana mobil itu menabrak dan menghempaskan tubuh laki-laki itu ke bumi, setiap kali ia mengingat darah Aga yang mengalir deras membasahi tangannya, jantungnya ditikam dengan seribu pisau dan meluruhkan segalanya dan berhasil menjadi mimpi buruk yang paling ia takutkan.

LANGIT JINGGA (TAMAT)Where stories live. Discover now