Soraru menepuk pucuk kepala Mafu pelan. Sorot mata tanpa minat itu ditahan untuk tidak menunjukkan emosi apapun ーmeski dalam benaknya berkecambuk sejuta rasa yang tertahan bimbang. Sekuat tenaga pula Soraru menguatkan diri untuk tidak tenggelam di dalam manik merah yang menatapnya sedih. Perpisahan?
"Ja, sampai disini saja, anggap saja kita tidak pernah melakukan apapun. Jaga dirimu."
Soraru berbalik dari hadapan Mafu, hendak melangkah pergi setelah mengantar pemuda itu ke rumahnya ーselepasnya dari rumah sakit. Samar, terdapat sebuah luka yang tersayat dalam. Lebih menyakitkan dari luka fisik.
"Apa berkunjung ke ruang kerjamu juga tidak boleh, Soraru-san?"
Pertanyaan bodoh dari Mafu.
Langkah Soraru terhenti, ia menoleh sedikit ーmemastikan ekpresi Mafu saat menanyakan hal itu.
"Lebih baik jangan. Kau harus mulai memikirkan masa depanmu."
"Tapi bukankah kau bilang aku tidak boleh lari dari hukumanku?"
Soraru menatap ke depan lagi. Memikirkan cara untuk menyuratkan keputusan yang ia pilih.
"Anggap saja hukuman dariku sudah selesai."
Dan Soraru kembali melanjutkan langkahnya menjauh. Apa ini keputusan yang tepat? Saat ini?
Mata Mafu tak berhenti menatap punggung yang semakin terlihat jauh darinya. Apa ini juga adalah hukuman yang diberikan Soraru untuknya? Menjauhinya dan menyiksanya dengan rasa rindu?Kurushi yo..
oOo
sudah 3 hari Soraru tidak kembali ke ruang kerjanya di laboratorium, karena ritunitasnya 3 hari ke belakang hanya mengajar dan langsung ke rumah sakit menjaga Mafu. Dan saat ini, setelah dirinya sudah memutus paksa benang yang mungkin sudah terjalin, akhirnya Soraru bisa kembali ke ruang kerjanya.
Tak ada yang berubah sejak ia tinggalkan, masih berantakan dengan cutter dan bercak darah di lantai. Sudah waktunya untuk membersihkan jejak-jejak kehadiran Mafu disini. Dimulai dari memungut semua cutter miliknya ーyang sebenarnya biasa ia gunakan untuk alat praktek para murid.
Setelah semua cutter ia kumpulkan, diletakkannya semua pada wastafel di kamar mandi-mengguyurnya sebentar dengan air dan berlalu meninggalkannya. Ah, nasib benda itu hampir sama dengan Mafu bukan?
Dihirupnya perlahan udara yang sudah terasa asing baginya ini. Atmosfer sepi yang menghakiminya dalam diam. Ini baru satu jam pemenuhan keputusannya meninggalkan Mafu dan efeknya sudah seperti ini? Payah.
Soraru membenci dirinya yang terlihat tak berdaya seperti ini. ia membenci kenyataan semua delusi yang ia alami. Maka dengan cepat dirinya langsung menghambar semua jejak keberadaan Mafu di ruangannya. Kemeja lusuh yang dihiasi darah itu, botol berisikan asam sulfat, borgol, dasi, dan juga vibrator yang sudah ia pakai -semuanya ia bawa ke tempat sampah di balik pintu, menutup paksa tempat sampah itu setelahnya.
Dirinya tidak boleh lari dari keputusan yang sudah ia buat kan?
Tapi mengapaー
Setetes air turun dari maniknnya yang tersulut emosi.
oOo
Terbang menjauh dari esok lusa, menundukkan kepala dalam hujan
Terjatuh lagi, semakin kusam, namun terus berlari
Pagi itu langit menangis pilu. Semua orang menaungi diri dengan payung masing-masing ーsudah tahu bahwa ramalan cuaca hari ini akan membuat mereka repot dengan payung yang harus mereka pegang selama berjalan. Namun dari sekian banyak manusia yang tak ingin basah terkena tangisan langit, ada satu orang yang tak pernah memikirkan itu. Ya, itu Mafu.
KAMU SEDANG MEMBACA
触ってください先生! (Sawatte kudasai, sensei!)
Fanfiction[ UTAITE FANFICTION COMPLETED ー reupload ] Kekerasan sudah akrab baginya. Kesendirian sudah membelenggunya sejak dulu. Dan saat guru sains baru itu hadir, setidaknya Mafu memiliki alasan untuk datang ke sekolah. "Tolong sentuh aku, sensei.." WARNI...